Pendapatan sektor kehutanan bisa raib Rp 29 T pasca kesepakatan dengan Norwegia



JAKARTA. Negara bisa kehilangan potensi pendapatan sebesar Rp 29 triliun per tahun pasca kesepakatan dengan Norwegia mengenai pengurangan emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan. Apalagi hingga kini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belum juga meneken Inpres moratorium sehingga menimbulkan ketidakpastian mengenai cakupan hutan yang dimoratorium. Ini menimbulkan keraguan para pengusaha untuk melakukan investasi di Hutan Tanaman Industri (HTI), perkebunan sawit, biomass dan sektor pertambangan."Kalau belum ada keputusan (Inpres) seperti ini, mereka (pengusaha) jadi hati-hati dan ragu untuk berinvestasi," kata Sekjen Kementerian Kehutanan Hadi Daryanto kepada wartawan di Jakarta, Senin (14/2).Hadi mengatkan, moratorium diterapkan sebagai bagian dari upaya penurunan emisi 26% sampai 10 tahun kedepan. Ini menyebabkan sektor kehutanan akan kehilangan kebutuhan kawasan dari kegiatan HTI, kebun (sawit), biomass, dan tambang sebesar 14 juta hektare (ha). "Tapi hal ini juga akan mengakibatkan sektor kehutanan kehilangan kawasan eksploitasi," imbuhnya.Dia bilang pencadangan kawasan hutan setiap tahun untuk HTI 500.000 ha dengan investasi Rp 15 juta per ha, sawit 300.000 ha dengan investasi Rp 35 juta per ha, biomass 200.000 ha dengan investasi Rp 10 juta per ha dan kebutuhan tambang 400.000 ha dengan investasi paling kecil Rp 20 juta per ha. Dengan demikian menurutnya, kehilangan potensi dari HTI Rp 7,5 triliun, sawit Rp 10,5 triliun, biomass Rp 3 triliun, dan tambang Rp 8 triliun. Jadi potensi kehilangan investasi atas kebutuhan kawasan hutan untuk kegiatan kehutanan dan non kehutanan sebesar Rp29 triliun per tahun pasca Kesepakatan Norwegia.Selama tahun 2010, Kementerian Kehutanan telah mengeluarkan izin konsesi hutan seluas 268.325 ha ke sembilan perusahaan HTI. Rinciannya, 90.825 ha (33,8%) merupakan hutan bekas tebangan (Lock Over Area/LOA) atau kawasan hutan yang tidak ada pemegang konsesinya serta 177.500 hektare (66,2%) merupakan areal tebang habis dengan permudaan buatan (THPB). Total investasi yang ditanamkan kesembilan perusahaan itu kurang lebih senilai Rp 1,9 triliun.Sebelumnya Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Iman Santoso mengatakan, izin Usaha Pemanfatkan Hasil Hutan Kayu- HTI belum bisa dikeluarkan menunggu diterbitkannya Instruksi Presiden (Inpres) tentang moratorium pemanfatan kawasan hutan pirmer dan gambut.

Soalnya dikhawatirkan beleid tersebut juga nanti mencakup pemanfatan hutan sekuder dimana HTI beroperasi. Apalagi dalam draf yang diajukan oleh Satgas REDD + kepada Presiden, moratorium tidak hanya hutan primer dan gambut, tetapi juga hutan sekunder. ”Kami mengharapkan Inpres moratorium bunyinya hanya untuk hutan alam primer dan sekunder tetapi takutnya tiba-tiba sekunder juga nggak boleh”ujar Dirjen Bina Usaha Kehutanan Iman Santoso di Jakarta, Rabu (26/1).Dia berharap agar moratorium tidak berlaku untuk hutan sekunder. Meski demikian, Kementerian Kehutan tetap menahan diri untuk tidak mengeluarkan izin. ”Karena jangan-jangan Inpres nggak sesuai dengan apa yang kita inginkan, kita menipu investor, kita bisa dituntut,”ujarnya.Dia mengatakan tahun 2011 ini sudah ada beberapa perusahaan yang mengajukan izin baru. Hanya sayang dia tidak bersedia mengungkapkan jumlah dan perusaha-perusahannya. ”Tetap ada setiap tahun karena menurut peta pencadangan kita ada yang bisa untuk HTI, ada yang bisa untuk HPH, dan HTR, terus ada yang untuk restorasi ekosistem,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Rizki Caturini