KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Kebijakan fiskal di era Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dinilai memiliki pendekatan yang berbeda dibandingkan pendahulunya, Sri Mulyani Indrawati (2016–2025). Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) M Rizal Taufikurahman menilai, Sri Mulyani cenderung konservatif dengan fokus pada kredibilitas fiskal, sementara Purbaya mengambil langkah lebih agresif.
Baca Juga: Menkeu Purbaya Bakal Menyisir Program-Program yang Penyerapan Anggarannya Lambat Menurut Rizal, strategi agresif Purbaya bisa mempercepat momentum pertumbuhan, memperkuat peran swasta, sekaligus memberi sentimen optimistis bagi pasar domestik. “Namun risikonya juga besar, mulai dari potensi tekanan inflasi akibat likuiditas yang terlalu deras, pelebaran defisit, hingga tantangan menjaga kepercayaan pasar terhadap disiplin fiskal,” kata Rizal kepada Kontan.co.id, Kamis (11/9/2025). Ekspansi Fiskal Rencana kebijakan ekspansif Purbaya tercermin dari langkah mencairkan dana sekitar Rp 200 triliun yang berasal dari Saldo Anggaran Lebih (SAL) dan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) yang selama ini tersimpan di Bank Indonesia.
Baca Juga: Menkeu Purbaya Suntik Rp 200 Triliun ke Perbankan, Begini Skemanya Dana tersebut akan disalurkan ke perbankan agar bisa diteruskan ke sektor strategis maupun dunia usaha. Selain itu, Kementerian Keuangan juga membuka opsi menambah anggaran transfer ke daerah (TKD) pada 2026. Padahal sebelumnya TKD direncanakan menyusut 29,34% dari realisasi 2025 menjadi Rp 650 triliun. Rizal menilai, kebijakan-kebijakan tersebut berpotensi memberikan dorongan nyata bagi perekonomian. “Injeksi dana dalam jumlah besar bisa meningkatkan likuiditas, memperkuat kapasitas bank menyalurkan kredit, serta menjaga belanja daerah tetap berjalan sehingga efek gandanya ke sektor riil lebih terasa,” jelasnya.
Baca Juga: Pajak Masih Tertekan, Menkeu Purbaya Dihadapkan PR Berat Syarat Keberhasilan Dengan penyerapan belanja yang efektif dan respons positif dari sektor swasta, Rizal menilai pertumbuhan ekonomi bisa bergerak di kisaran 5,5% hingga mendekati 6%. Meski begitu, ia mengingatkan ada prasyarat yang harus dipenuhi.
Dorongan fiskal harus benar-benar mengalir ke aktivitas produktif, tidak tersendat oleh hambatan birokrasi, dan mampu menjawab tantangan lemahnya daya beli masyarakat kelas bawah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News