Pendidikan tinggi Indonesia gagal imbangi pasar



JAKARTA. Sistem pendidikan tinggi di Indonesia gagal mengimbangi pengembangan ekonomi yang sangat pesat. Tuntutan dari perkembangan ekonomi membuat perguruan tinggi harus mampu menghasilkan lulusan yang berkualitas di lingkungan kerja modern di Asia Tenggara.

Saat ini, investor asing sudah berbondong-bondong datang menanamkan uangnya ke Indonesia. Dengan jumlah penduduk sebesar 240 juta jiwa, membuat pasar Indonesia sangat menggiurkan, apalagi dengan sumber daya alam yang melimpah, serta rendahnya upah pekerja. Inilah yang membuat Indonesia menjadi sasaran empuk para investor.

Sayangnya, lulusan perguruan tinggi yang berkualitas di Indonesia terbilang langka. Banyak perusahaan sulit menemukan orang yang bisa berpikir kritis dan mampu membuat transisi yang mulus dalam bekerja.


“Lulusan universitas biasanya tidak memiliki pengalaman kerja yang cukup,” kata Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) dalam laporan tentang pendidikan tinggi di Indonesia.

Laporan tersebut juga menemukan kesenjangan dalam berpikir, keterampilan teknis, serta berperilaku. Kondisi ini diperkuat dengan hasil survei Bank Dunia, yang menyebutkan, 20%-25% alumnus perguruan tinggi di Indonesia harus di mendapat pelatihan sebelum bekerja.

OECD melansir, universitas di Indonesia termasuk sebagai universitas yang tertinggal dibandingkan dengan negara lain. Kondisi perguruan tinggi di Indonesia itu berbanding terbalik dengan di India yang banyak banyak memproduksi doktor, insinyur, dan ilmuwan tingkat dunia.

Hasil survey yang dilakukan lembaga peringkat perguruan tinggi dunia, yaitu Times Higher Education menyebutkan, tidak ada satupun dari 92 universitas negeri di Indonesia atau sekitar 3.000 universitas swasta di Indonesia yang masuk dalam deretan 400 institusi perguruan tinggi terbaik dunia.

Hal ini terlepas dari fakta, bahwa Indonesia sering kali disandingkan dengan negara anggota BRICS, yakni Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan, yang semuanya telah berhasil membawa perguruan tingginya masuk ke dalam daftar instansi terbaik dunia.

Lina Marianti, karyawan JAC Recruitment di Jakarta menyebutkan, perusahaan asing menolak lebih dari separuh lulusan universitas dari Indonesia. “Kami ingin memberikan yang terbaik, namun usaha terbaik kami masih belum sesuai dengan ekspektasi perusahaan,” kata Lina.

Menurut Lina, perusahaan asing mengeluhkan kualitas lulusan perguruan tinggi dalam negeri yang kurang mampu menerapkan teori dalam praktik. Lulusan dalam negeri dinilai kurang memiliki jiwa kepemimpinan serta kurang memiliki kemampuan analisis. “Selain itu, banyak yang kurang menguasai bahasa Inggris,” jelas Lina.

Pendapat yang sama juga disampaikan Rina, manajer sumber daya manusia (SDM) untuk perusahaan kimia milik asing. Ia bilang, banyak lulusan perguruan tinggi di Indonesia yang tidak memiliki etika bekerja yang baik.

“Rasanya sulit percaya bahwa mereka adalah lulusan perguruan tinggi. Tetapi mereka kerap mengirim email kosong tanpa cover letter untuk melamar pekerjaan, tidak hadir dalam panggilan wawancara, dan memohon pengunduran diri lewat pesan singkat,” kata Rina.

“Mereka ingin disuapi terus. Harus diberi tahu harus melakukan apa,” imbuhnya. Rendahnya kualitas pendidikan di dalam negeri itu, membuat sebagian orang Indonesia belajar ke luar negeri.

Banyak pejabat tinggi dan pengusaha sukses paling tidak sudah mengantongi gelar sarjana dari beragam universitas di luar negeri. Kepala Indonesian International Education Consultants Association Sumarjono Suwito mengatakan, Indonesia berada di koridor yang benar tetapi terdesak dari negara lain di Asia.

“Negara seperti China, India, Singapura, Malaysia, dan yang terbaru Thailand telah fokus di bidang pendidikan. Mereka memiliki anggaran sendiri untuk memajukan pendidikan nasional,” kata Suwito. Indonesia berusaha mengejar ketertinggalan dalam negeri sejak lima tahun terakhir, tetapi masih berjalan lamban.

Tersendatnya sektor pendidikan di Indonesia juga dipengaruhi tingginya tingkat korupsi di negeri ini. Dana yang seharusnya digunakan untuk membangun gedung sekolah menghilang begitu saja, atau ada rumor yang bilang, siapa saja bisa bersekolah di sekolah terbaik asal siap membayar lebih.

Sementara itu, Wiyogo Prio Wicaksono, mahasiswa Universitas Indonesia mengatakan, ia banyak menghabiskan waktu di luar jam kuliah dengan mengikuti kegiatan ekstrakurikuler untuk meningkatkan kemampuan non-akademis.

“Banyak teman saya sukses di bidang pekerjaan walaupun dulu tidak menonjol di bidang akademis. Namun, mereka pandai bersosialisasi dan menentukan sikap. Saya rasa hal ini sangat penting dan tidak bisa didapatkan hanya dengan belajar di kelas,” kata Wiyogo.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Asnil Amri