KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pendidikan vokasi dapat menjadi solusi dalam mengatasi masalah penyerapan tenaga kerja generasi muda Indonesia. Selain makin selaras dengan kebutuhan dunia industri, pendidikan vokasi dapat membuka lapangan kerja untuk generasi muda melalui kewirausahaan. Hal tersebut disampaikan oleh Staf Khusus Presiden, Billy Mambrasar, dalam webinar Program Bridging Course Vokasi sebagai Jembatan Karier Gemilang yang diselenggarakan oleh Direktorat Kemitraan dan Penyelarasan Dunia Usaha Dunia Industri (Mitras DUDI), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, pekan lalu. Billy mengatakan, mengacu pada statistik, lulusan SMA/SMK dan SMP adalah penyumbang terbanyak angka pengangguran di Indonesia. Selain itu, hanya 11 persen generasi Y dan Z yang bisa mencapai tingkat pendidikan hingga jenjang sarjana (S1). Penyebab masalah tersebut adalah ketersediaan akses untuk melanjutkan studi ke tingkat pendidikan tinggi.
Namun demikian, menurut Billy Mambrasar, kurikulum pendidikan vokasi mengarahkan insan vokasi memiliki keterampilan untuk terjun ke sektor formal dan non-formal. Ia menyebut, terdapat tiga tantangan yang harus dihadapi oleh pendidikan vokasi di Indonesia untuk menjadikan insan vokasi bernilai jual tinggi.
Baca Juga: Acara Wastra Nusantara mengembangkan produk fesyen ramah lingkungan Tantangan pertama adalah
demand driven, yaitu menyesuaikan pendidikan vokasi dengan kebutuhan industri. Billy menilai pendidikan vokasi Indonesia mampu menjawab tantangan
demand driven secara baik. Contohnya, ia menyebut Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 1 Sorong yang saat ini telah memiliki MoU dengan industri untuk menyerap lulusannya. Tantangan kedua adalah meningkatkan pendidikan vokasi yang kontekstual. Pendidikan vokasi harus disesuaikan dengan konteks potensi lokal. “Misalnya di Labuan Bajo, berarti pendidikan vokasi harus berbasis wisata. Kalau di Sei, Sulawesi Tenggara, maka pendidikannya harus berbasis kelautan,” kata Billy dalam keterangannya, Kamis (19/8). Tantangan yang ketiga adalah revitalisasi kapasitas guru dan fasilitas sekolah untuk memampukan insan-insan vokasi menjadi wirausahawan. Hal ini bisa menjawab kemungkinan lulusan pendidikan vokasi tidak bisa diserap oleh lapangan kerja sektor formal dan non-formal. “Mereka didesain menjadi
entrepreneur. Makanya di sekolah vokasi dibikin pusat inkubasi bisnis,” ujar alumnus University of Oxford tersebut. CEO Bread Time, Wisnu Nugroho, membuktikan bahwa kurikulum di pendidikan vokasi menyiapkan para insan vokasi untuk terjun ke dunia industri. Alumnus Politeknik Negeri Jakarta (PNJ) tersebut terjun ke bisnis
food and beverage (FnB) setelah lulus kuliah. Pengalaman menempuh pendidikan vokasi menjadi modal berharga bagi Wisnu. “Ketika lulus, saya dan teman-teman tidak kaget saat terjun ke industri. Saat kuliah kita sudah diterjunkan dan itu menjadi bagian dari kuliah kami. Kurikulum pendidikan vokasi sangat bagus karena menggabungkan teori dan praktik,” tutur Wisnu yang mengambil prodi
Meeting and Event Planning di PNJ ini.
Baca Juga: Untuk mahasiswa PTN & PTS, ini cara mendapatkan bantuan UKT Kemendikbud-Ristek 2021 Bekal yang diperoleh dari pendidikan vokasi juga berarti ketika insan vokasi tidak terserap oleh lapangan pekerjaan. Menurut Wisnu insan vokasi memiliki peluang untuk menciptakan lapangan pekerjaan. “Buktinya sekarang, apalagi di era pandemi, banyak orang yang berusaha di bidang kuliner. Mereka berhasil dan
survive,” kata Wisnu yang merintis Bread Time sejak 2015. Wisnu Nugroho menuturkan, menuju bonus demografi pada 2045, insan vokasi Indonesia harus meningkatkan kemampuannya. Seperti dirinya yang harus mengubah proses penjualan produk Bread Time dari sekadar menggunakan toko yang makin tidak efektif dan efisien menjadi memanfaatkan teknologi yaitu
marketplace. “Jika saya tidak mengubah proses penjualan Bread Time, mungkin saya tidak akan bisa bertahan sampai sekarang, apalagi sekarang sedang pandemi. Sistem penjualan
online sangat membantu,” ujar Wisnu.
Editor: Tendi Mahadi