Pendulum Industri Kemaritiman



KONTAN.CO.ID. Menilik pidato presiden Joko Widodo (Jokowi) saat menyampaikan pidato tentang visi Indonesia 2019-2024, di Sentul Bogor, 14 Juli 2019 tergambar dengan jelas target penyelesaian pembangunan oleh presiden dan wakil presiden terpilih.

Adapun yang disebut dalam lima visi Jokowi untuk Indonesia 2019-2024, yaitu percepatan infrastruktur, pembangunan sumber daya manusia (SDM), reformasi birokrasi, investasi, dan APBN tepat sasaran. Sasaran lima visi ini diprediksi mampu membawa Indonesia semakin produktif dan menjawab tantangan fenomena global dan kondisi dinamis. Selain itu, visi ini ditengarai sebagai strategi terbaik peningkatan kompetensi dan kapabilitas SDM bangsa Indonesia, sehingga mampu bersaing dengan bangsa lain.

Potensi kemaritiman dari negara dengan 79% lautan dan 99.000 km garis pantai, menempatkan Indonesia urutan ketiga negara dengan kepulauan terbanyak, setelah Swedia dan Finlandia. Dengan potensi US$ 1,3 triliun/tahun, wajar jika maritim adalah harta karun terpendam dan belum dieksploitasi secara masif dan hanya 8% dari potensi keseluruhan dimanfaatkan.


Hal ini menunjukkan bahwa potensi kemaritiman Indonesia hanya sebagian kecil dipergunakan untuk menyumbang devisa dan perekonomian nasional. Potensi kemaritiman muncul dari sisi energi, perikanan, bioteknologi kelautan, wisata bahari, mangrove, sumber daya di pulau-pulau kecil dan tersebar.

Namun dengan Visi Indonesia 2019-2024, kelanjutan implementasi pemanfaatan kemaritiman kembali menjadi bahan perbincangan cukup hangat, terutama di kalangan stakeholder kemaritiman. Visi Indonesia 2019-2024 menempatkan industri kemaritiman menjadi pendukung untuk pariwisata, agro perikanan, dan konektivitas. Industri infrastruktur padat modal dan masif menjadi alasan utama industri maritim untuk konektivitas antarpulau.

Hal ini juga merujuk pada pembentukan penjaminan dan dukungan keuangan pembangunan infrastruktur darat, menjadi penjaminan dan dukungan pembangunan dan pengembangan industri kemaritiman. Pekerjaan rumah besar adalah menata kembali arah dan pergerakan industri kemaritiman, sehingga investasi pembangunan kapal, dermaga, dan galangan kapal akan efisien, saat berangkat bermuatan, dan saat kembali juga bermuatan (ship follows the trade).

Penataan pendulum industri kemaritiman tidak hanya barang konsumsi, namun juga orang dan energi (gas dan minyak). Penataan tersebut memberikan peluang bagus bagi swasta untuk berkiprah, tidak hanya kapal dengan tarif subsidi, dengan swasta ikut berperan akan memberikan daya dorong pertumbuhan perekonomian lebih signifikan.

Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025, menyebutkan bahwa potensi maritim dan potensi sumber daya agraris Indonesia perlu dipertimbangkan sebagai bahan utama meningkatkan perekonomian, maritim adalah penghubung kewilayahan, maritim merupakan potensi pariwisata kedaerahan, mengamanatkan peningkatan transportasi laut sebagai alternatif utama keterhubungan daerah, industri maritim adalah pendukung utama pertumbuhan ekonomi di urutan kedua, sehingga industri maritim adalah jalan utama peningkatan daya saing nusantara.

Jadi industri turunan

Rancangan Teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2020-2024, menyebutkan bahwa kemaritiman adalah salah satu alternatif strategi pendekatan pembangunan ekonomi, yaitu pengelolaan sumber daya ekonomi dan peningkatan nilai tambah. Dengan melihat sasaran pada agro kelautan yaitu ikan, rumput laut, garam, dan usaha nelayan lain. Pemerintah menetapkan target PDB maritim 6,5% tahun 2020, dan 7,8% tahun 2024, lebih kecil dari target pertumbuhan PDB industri makanan dan minuman di kisaran 8,09%.

RPJP dan RPJMN, memberikan dampak pada munculnya Peraturan Presiden (Perpres) No 56/2018, tentang Proyek Strategis Nasional (PSN). Aturan ini menetapkan pembangunan perikanan satu proyek, sementara pembangunan pelabuhan baru ada 10 proyek dibandingkan dengan daftar proyek sebanyak 227 PSN.

Sementara Peraturan Pemerintah (PP) No 14/2015 tentang Pengembangan industri menurut Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) 2015-2035, sebagai industri prioritas adalah industri pangan, industri farmasi, industri tekstil, industri alat transportasi, industri elektronika, dan industri pembangkit energi. Melihat industri alat transportasi, maka dapat disimpulkan dalam RIPIN 2015-2035, maka nomenklatur industri maritim adalah bagian dari industri alat transportasi (laut, udara, dan darat).

Menelusuri arah peraturan pemerintah dan perundangan, perjalanan industri maritim bukan menjadi industri prioritas, namun menjadi industri derivatif (turunan) industri transportasi (konektivitas), industri pariwisata, dan industri agro perikanan. Visi Indonesia 2019-2024 tak mengamanatkan pembangunan industri maritim sebagai industri konektivitas utama sebagai solusi ketersambungan antar kewilayahan.

Paradigma tersebut harus diubah. Seharusnya pengembangan dan pembangunan industri maritim memberikan dampak nilai tambah bagi industri transportasi, industri pariwisata, dan industri agro perikanan. Ship follows the trade, duluan mana ayam atau telur. Pertanyaan ini tidak terjawab. Namun sering ditemui, seperti itulah pembangunan infrastruktur dibangun, kemudian perekonomian bergerak, dan infrastruktur dibangun.

Demikian seharusnya pembangunan industri maritim atau diturunkan menjadi industri tol laut, yaitu pembangunan tol laut adalah infrastruktur keterhubungan pulau dan peningkatan jumlah kunjungan wisatawan. Potensi termanfaatkan hanya 8%-9%, potensi kemaritiman beraneka ragam, seharusnya menjadi daya sumbang besar ke devisa negara, yakni sejak 2014 sektor pariwisata telah menggeser migas dan batubara, dengan nilai US$ 17,6 miliar, jumlah kunjungan 20 juta wisatawan.

Visi Indonesia 2019-2024 memberikan porsi besar ke pariwisata, target pemerintah 32 juta wisatawan, dari titik pandang ini berangkat, maka industri maritim atau industri tol laut adalah garda depan keterbangunan diikuti oleh peningkatan kedatangan wisatawan. Sama seperti halnya PSN pembangunan infrastruktur jalan yaitu 69 proyek dari 227 PSN.

Ketersediaan bahan baku industri kemaritiman penghubung yaitu industri besi baja menjadi pekerjaan tersendiri untuk diselesaikan. Impor Indonesia sebagian besar pada tiga kebutuhan industri yaitu industri otomotif, industri elektronika, dan industri perkapalan (BPS, Februari 2019).

Dengan jumlah impor Indonesia tahun 2018 sebesar 11.7 juta ton (World Steel Association 2018) menempatkan Indonesia pada posisi peringkat 14, sementara posisi pertama ditempati Uni Eropa sebesar 44.9 juta ton. Di negara ASEAN, Thailand menempati posisi lima dengan impor 15,5 juta ton, Vietnam posisi 10 dengan jumlah 14,1 juta ton.

Dengan posisi ini sebenarnya Indonesia cukup kecil untuk impor. Dengan kebutuhan pembangunan infrastruktur 2019-2024, kondisi ini tak bisa dipertahankan dan seharusnya diperkecil.

Jika dibedah lebih jauh, nilai impor besi dan baja mencapai nilai US$ 11 miliar menempati urutan pertama, dilanjutkan yang kedua adalah impor plastik dengan nilai US$ 8,5 miliar, dan peringkat ketiga adalah otomotif senilai US$ 8 miliar. Teknologi, bahan baku dan regulasi adalah kunci utama ketersediaan dan penjaminan daya saing bagi pemain nasional di industri ini.

Penulis : Muhammad Ade Irfan

Wakil Sekjen Pengurus Pusat Persatuan Insinyur Indonesia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti