KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Berbagai pihak telah mendesak agar Presiden Joko Widodo segera mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) KPK hasil revisi. Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris pun mengatakan, terdapat tiga kategori yang bisa dipilih presiden dalam menerbitkan Perppu KPK. Pertama, Perppu KPK yang membatalkan keseluruhan UU KPK hasil revisi. Kedua, Perppu KPK yang isinya menunda pelaksanaan atau implementasi UU KPK hasil revisi.
Baca Juga: Survei LSI: 76,3% responden setuju presiden terbitkan Perppu batalkan UU KPK Penundaan ini, kata Syamsuddin, bisa selama 1 hingga 2 tahun, di mana penundaan tersebut digunakan untuk merevisi atau melakukan perbaikan UU supaya tidak melemahkan KPK. Ketiga, Perppu tersebut bisa menolak atau membatalkan sebagian pasal yang sudah disepakati antara DPR dan pemerintah. "Poin saya, apabila presiden katakanlah takut dengan pilihan atau kategori yang pertama, dia beliau bisa pilih yang lain, entah itu penundaan atau membatalkan hanya sebagian pasal yang sifatnya mengancam independensi KPK atau melemahkan KPK," ujar Syamsuddin, Minggu (6/10). Menurut Syamsuddin, Perppu KPK ini pun penting untuk dilakukan mengingat UU KPK hasil revisi memiliki kecacatan baik secara prosedur maupun substansi.
Baca Juga: Sejumlah tokoh bangsa tidak akan temui lagi Jokowi bahas soal Perppu KPK Syamsuddin menerangkan, cacat secara prosedur bisa dilihat dari penerbitan UU KPK yang tetutup, tergesa-gesa dan tanpa melibatkan partisipasi publik maupun KPK sebagai pihak yang dicantumkan dalam UU tersebut. Sementara, secara substansi, UU KPK hasil revisi juga dianggap bertentangan dengan visi Jokowi yang mengatakan akan memberantas korupsi dan memperkuat KPK. Menurut Syamsuddin, UU hasil revisi juga bertentangan dengan obsesi Jokowi untuk meningkatkan investasi.
Baca Juga: Emil Salim sebut revisi UU KPK membawa kita kembali ke era korupsi "Kenapa investor China tidak mampir ke Indonesia justru ke Vietnam, Jangan-jangan faktor utama adalah korupsi yang merajalela. Kalau UU KPK hasil revisi melemahkan KPK, tentu tidak ada investor atau investasi yang masuk ke Indonesia. Negaranya korupsi, pejabatnya korup. Menjadi penting Jokowi menerbitkan Perppu KPK ini," jelas Syamsuddin. Syamsuddin juga mengatakan, banyak ketidakpastian hukum dalam UU KPK hasil revisi. Misalnya, prosedur penyadapan, prosedur penerbitan SP3 dan status kepegawaian di KPK. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto