Ancaman larangan produk minyak kelapa sawit (CPO) di Uni Eropa menjadi berita populer dalam beberapa minggu terakhir ini. Perkembangan terakhir, Iceland Co, jaringan supermarket Inggris akan menghentikan penggunaan minyak sawit pada produk yang dijual di jaringan supermarket itu pada akhir tahun 2018. Kampanye tersebut diprotes Council of Palm Oil Producer Countries (CPOPC) yang beranggotakan 10 negara, termasuk Indonesia. Selama ini pemerintah maupun dunia usaha di Indonesia berupaya meredam sorotan internasional lewat berbagai kebijakan strategis termasuk aktif mendorong pengelolaan kepala sawit yang berkelanjutan melalui program sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). ISPO diharapkan dapat mengikuti jejak kisah sukses sertifikasi produk kayu Indonesia yaitu Sertifikat Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang telah diterima secara resmi di 28 negara anggota Uni Eropa. Dari pengalaman SVLK, sektor perikanan Indonesia berusaha mendorong penerapan skema ekolabel perikanan.
Namun, skema ekolabel perikanan lebih sulit diterapkan karena adanya perbedaan spesifikasi antara ikan dengan tanaman. Apabila dalam bisnis kelapa sawit dan kayu diperlukan industri turunan untuk mendorong peningkatan nilai ekonomi yang lebih baik, di dalam perikanan sebaliknya. Ikan merupakan komoditas yang nilai ekonomi tertingginya justru dalam keadaan hidup atau segar. Ikan kerapu dan lobster contohnya memiliki nilai ekonomi tertinggi apabila dijual dalam keadaan hidup. Sementara itu tuna memiliki nilai tertinggi apabila masuk dalam grade A atau peringkat mutu dan keamanan pangan yang tertinggi. Saat ikan tuna ditangkap dan langsung dikonsumsi dalam bentuk sushi dan sashimi, maka tuna akan jauh lebih tinggi nilainya dibandingkan bentuk olahan. Ini membuat pengelolaan sumber daya perikanan memerlukan penanganan tertentu. Tuna (thunnus sp) merupakan jenis ikan yang memiliki nilai tertinggi sekaligus terpopuler di dunia. sehingga banyak negara dan organisasi internasional yang berkepentingan dalam pengelolaan ikan tersebut. Tuna merupakan ikan yang memiliki ruaya jauh di laut dan berenang melintasi berbagai negara, sehingga dalam pengelolaannya memerlukan kerjasama lintas negara. Apabila untuk minyak kelapa sawit dan produk kayu bentuk sertifikasinya bersifat nasional, maka untuk ikan tuna lebih efektif apabila bentuk sertifikasinya bersifat lintas negara. Tidak diskriminatif Sejumlah negara telah menerapkan berbagai sistem sertifikasi terhadap ikan tuna yang diperdagangkan secara nasional maupun internasional. Hal yang menarik adalah bahwa sistem sertifikasi tersebut masih minim bersifat regional. Untungnya, ASEAN telah memulai konsolidasi untuk memulai sistem regional tersebut. Negara ASEAN mulai menyadari kompleksitas permasalahan dalam perikanan tuna seperti penangkapan ilegal dan merusak, penurunan stok, pencemaran lingkungan, ketentuan ecolabelling hingga persyaratan dan hambatan pasar ekspor berupa hambatan tarif dan non tarif. Masalah tersebut sulit diselesaikan sendiri sehingga memerlukan kerjasama yang komprehensif antar negara ASEAN. Sejak 2010 telah terbentuk Working Group on ASEAN Tuna Working Group (ATWG) sebagai wadah kerjasama perikanan tuna lingkup ASEAN. Organisasi tersebut menjadi pintu masuk bagi kerjasama dalam pengelolaan perikanan tuna yang lestari dan membangun aliansi bersama dalam menghadapi isu regional dan internasional. Indonesia merupakan lead country dalam ATWG. Sebagai lead country Indonesia telah menginisiasi ASEAN Tuna Ecolabelling (ATEL) sejak 2012, di mana prinsip dasarnya adalah menjawab kebutuhan pelaku usaha perikanan tuna terhadap sertifikasi kelestarian tuna yang tidak memberikan beban biaya yang berlebih. Sertifikasi ecolabelling yang sudah lebih dahulu eksis dianggap menciptakan hambatan pasar baru dan memberikan beban biaya yang berlebih bagi pelaku usaha. Selain itu sertifikasi ATEL dapat membentuk branding bagi produk tuna ASEAN. ATEL sekaligus menjadi koreksi bagi sertifikat ekolabel yang telah eksis di mana perkembangan sertifikasi ekolabel mulai mengarah pada hambatan baru untuk memasuki pasar ritel negara-negara maju. Hal tersebut dipandang bertentangan dengan prinsip FAO Guidelines on Ecolabelling of Marine Capture Fisheries tahun 2005 (direvisi tahun 2009 dan 2011). Ada dua prinsip dasar dari FAO Guidelines tersebut yang menyatakan bahwa skema ekolabel untuk perikanan harus mematuhi kaidah sebagai berikut: "Be non-discriminatory, do not create unnecessary obstacles to trade and allow for fair trade and competition" dan "provide the opportunity to enter international markets." Mengacu pada panduan dari FAO tersebut, skema ekolabel harus menjadi sertifikat yang tidak diskriminatif dan mendorong kompetisi yang adil di pasar internasional. Di sinilah peran ATEL yang diharapkan menjadi sebuah sistem yang menjalankan keseimbangan antara peningkatan nilai ekonomi, sosial dan kelestarian di kawasan ASEAN. Terdapat perbedaan mendasar antara ATEL dengan sertifikat ekolabel yang telah lebih dahulu eksis yaitu: pertama, ATEL bersifat producer driven. Hal ini berarti ATEL merupakan sistem sertifikasi yang diatur masing-masing negara ASEAN di kawasan laut yang menjadi area penangkapan tuna masing-masing negara. Produser dalam hal ini adalah pemerintah masing-masing negara yang memiliki kedaulatan di kawasan lautnya. Kedua, ATEL merupakan pengintegrasian pengelolaan perikanan tuna yang berkelanjutan di kawasan, dan ketiga, ATEL menjadi regional branding bagi seluruh produk tuna yang diproduksi dan berasal dari masing-masing negara ASEAN. Perbedaan mendasar tersebut menjadi kekuatan utama antara ATEL yang berbeda dengan sertifikat ekolabel yang telah berkembang. Sertifikasi ATEL harus terus didorong untuk meningkatkan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan dalam rangka mencapai kesejahteraan nelayan, perlindungan sumber daya tuna dan ekonomi negara anggota ASEAN.
Pengintegrasian skema nasional masing-masing negara ASEAN dengan skema ATEL lebih mudah karena sebagian negara ASEAN telah memiliki skema ekolabel nasional di negara masing-masing. Data dari Badan Standardisasi Nasional (2011) menunjukkan bahwa telah ada lima negara ASEAN yang memiliki skema ekolabel nasional yaitu Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina dan Indonesia. Adapun Indonesia, Thailand dan Filipina merupakan produsen utama tuna di kawasan. Langkah pengintegrasian itu akan membuat waktu penyusunan ATEL menjadi lebih singkat dan mudah. Tantangan utamanya adalah bagaimana menyusun dan menyepakati standar kelestarian sumberdaya perikanan di tingkat ASEAN. Kesepakatan mengenai standar tersebut menjadi kunci sukses keberhasilan penerapan ATEL dan pengelolaan perikanan tuna di kawasan ASEAN.•
Andre Notohamijoyo Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi