Penerapan Bea Keluar Bakal Kerek Harga Emas Dalam Negeri di Tahun Depan
Selasa, 23 Desember 2025 18:58 WIB Oleh: Sabrina Rhamadanty | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pungutan Bea Keluar (BK) emas sebesar 15% yang akan diterapkan pada tahun 2026 mendatang dinilai akan turut menjadi variable kenaikan emas tahun depan. Pengamat pasar komoditas, Ibrahim Assuaibi mengatakan pengenaan BK spesifiknya akan dimulai saat emas global mencapai harga sekitar US$ 3.500 per ons troi. Sedangkan saat ini, harga emas dunia mendekati dan bahkan sempat menyentuh rekor tertinggi sekitar US$ 4.500 per ons troi. "Saat ini kan sudah melampaui harga segitu (US$ 3.500 per ons troi) artinya, bisa saja persentasi pajaknya lebih dari 15%. Tujuannya agar pengusaha-pengusaha tambang ini jangan melakukan ekspor dan mereka memenuhi kebutuhan dulu di dalam negeri," jelas Ibrahim. Keputusan ini menurut dia juga dekat kaitannya dengan berhentinya operasional tambang tembaga dan emas terbesar milik Freeport Indonesia, Grasberg Block Cave (GBC) akibat insiden longsor pada awal September lalu. Baca Juga: Pertamina Pacu CEOR Lapangan Minas, Tambahan 2.800 Barel Mulai 2026 "Sebelumnya bisa dapat 50 ton (produksi emas GBC per tahun), tetapi karena dihentikan untuk untuk produksi ya, baru di bulan April-Mei (beroperasi) jadi hanya 25 ton. Artinya Pak, bahwa kebutuhan untuk kemas emas batangan maupun kemas perhiasan di Indonesia cukup besar," ungkap dia. Didukung dengan pelemahan Rupiah, atau dengan Rupiah yang masih di atas Rp 16.750 atau Rp 16.800 per dolar Amerika Serikat (AS), Ibrahim bilang harga emas di akhir tahun hingga awal tahun depan berpotensi menyentuh Rp 2.700.000 per gram. "Karena kan kelemahan pertama di Rupiah, ini akan mendorong harga emas. Saya melihat bahwa kalau seandainya nanti terus menuju di level US$ 4.550 (per ons troi) bisa saja untuk harga logam mulia itu antara Rp 2.650.000 sampai Rp 2.700.000," jelas dia. Di sisi lain, Analis komoditas dan Founder Traderindo Wahyu Laksono memandang sentimen kenaikan harga emas, baik Antam maupun spot dunia, dipengaruhi oleh kombinasi faktor internal dan eksternal. Dari eksternal, atau pengaruh global, meningkatnya permintaan emas sebagai aset lindung nilai (safe haven) di tengah ketidakpastian geopolitik global (seperti konflik di Timur Tengah dan Eropa) dan ketidakpastian ekonomi. "Kebijakan Moneter AS (The Fed) atau ekspektasi akan penurunan suku bunga The Federal Reserve (The Fed) di masa mendatang. Penurunan suku bunga cenderung melemahkan Dolar AS dan imbal hasil obligasi, membuat emas yang tidak memberikan imbal hasil menjadi lebih menarik," kata dia. Selain itu, pembelian emas yang kuat dan stabil oleh bank-bank sentral global (terutama negara-negara seperti Tiongkok, Rusia, dan India) untuk diversifikasi cadangan devisa. Baca Juga: Huawei dan Blibli Resmikan Dua HUAWEI Experience Store Baru di Bekasi dan Cirebon "Emas juga merupakan lindung nilai terhadap inflasi. Kekhawatiran inflasi yang terus berlanjut mendorong investor ke emas,"tambahnya. Ditingkat domestik, kinerja Antam menunjukkan pertumbuhan laba dan penjualan yang signifikan, terutama dari segmen emas, menciptakan sentimen positif terhadap harga produknya. Pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS kata Wahyu karena harga emas dunia dihitung dalam dolar, Rupiah yang melemah akan membuat harga konversi emas di dalam negeri (Antam) menjadi lebih mahal. "Peningkatan minat dan permintaan masyarakat domestik terhadap emas batangan sebagai investasi di tengah tren harga yang naik dan ketidakpastian ekonomi," tambahnya. Adapun, terkait BK emas, Wahyu mengatakan pungutan sebesar 15% mulai Januari 2026 merupakan langkah besar dalam kebijakan hilirisasi sektor mineral di Indonesia. Kebijakan ini tentu akan membawa pergeseran signifikan dalam peta perdagangan emas nasional. Baca Juga: J Resources (PSAB) Yakin Hasil Penjualan Emas US$ 286 Juta di Tahun Ini "BK 15% kemungkinan besar tidak akan menurunkan harga emas ritel secara drastis karena acuannya tetap global. Namun, ini bisa menekan harga di tingkat hulu, maksudnya harga beli dari penambang," ungkap dia. Ia juga mengamini bahwa penambang akan sangat terdorong menjual ke dalam negeri. "Dengan pajak ekspor 15%, menjual ke pasar lokal tanpa potongan BK menjadi jauh lebih menguntungkan secara margin dibandingkan mengekspor ke luar negeri," tambahnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News