JAKARTA. Penerapan Bea Keluar (BK) kakao yang sudah berlangsung lebih tiga tahun dinilai salah sasaran. Pasalnya, dari sekitar 14 perusahaan pengolahan biji kakao yang ada di dalam negeri, mayoritasnya dimiliki oleh perusahaan multinasional. Zulhefi Sikumbang, Ketua Umum Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) mengatakan, kebijakan yang diberlakukan sejak April 2014 tersebut belum mampu membuat perusahaan pengolahan biji kakao lokal yang sebelumnya mati suri dapat beroperasi lagi. "75% dimiliki perusahaan multinasional, hanya 25% dimiliki perusahaan nasional," ujar Zulheif, Selasa (11/2). Sebelum diberlakukan BK biji kakao, jumlah perusahaan pengolahan biji kakao yang beroperasi mencapai enam perusahaan, sedangkan delapan sisanya mati suri. Bahkan, setelah penerapan BK perusahaan lokal yang mati suri juga tidak segera pulih, namun harus menghadapi serbuan investasi asing. Sekedar catatan saja, setelah penerapan BK biji kakao tersebut malah muncul lima perusahaan asing baru yang masuk. Kelima perusahaan tersebut antara lain adalah, Barry Callebaut berkapasitas 30.000 ton per tahun di Makassar dan 100.000 ton di Bandung. Selain itu ada juga Cargill yang memiliki kapasitas terpasang 60.000 ton per tahun, Guan Chong Cocoa berkapasitas 120.000 ton per tahun, JB Cocoa berkapasitas 50.000 ton dan Transmar berkapasitas 20.000 ton per tahun. Sekedar catatan, total kapasitas terpasang dari perusahaan pengolahan biji kakao dalam negeri termasuk yang mati suri mencapai 850.000 ton per tahun. Dari jumlah tersebut, yang berstatus siap giling hanya mencapai 650.000 ton per tahun. Investasi untuk pembangunan pabrik pengolahan biji kakao setengah jadi seperti cocoa powder, cocoa cake, dan cocoa butter cukup besar. Zulhefi bilang, untuk pabrik berkapasitas 10.000 ton per tahun, setidaknya dana yang harus dikeluarkan perusahaan mencapai US$ 10 juta.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Penerapan BK Kakao dinilai salah sasaran
JAKARTA. Penerapan Bea Keluar (BK) kakao yang sudah berlangsung lebih tiga tahun dinilai salah sasaran. Pasalnya, dari sekitar 14 perusahaan pengolahan biji kakao yang ada di dalam negeri, mayoritasnya dimiliki oleh perusahaan multinasional. Zulhefi Sikumbang, Ketua Umum Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) mengatakan, kebijakan yang diberlakukan sejak April 2014 tersebut belum mampu membuat perusahaan pengolahan biji kakao lokal yang sebelumnya mati suri dapat beroperasi lagi. "75% dimiliki perusahaan multinasional, hanya 25% dimiliki perusahaan nasional," ujar Zulheif, Selasa (11/2). Sebelum diberlakukan BK biji kakao, jumlah perusahaan pengolahan biji kakao yang beroperasi mencapai enam perusahaan, sedangkan delapan sisanya mati suri. Bahkan, setelah penerapan BK perusahaan lokal yang mati suri juga tidak segera pulih, namun harus menghadapi serbuan investasi asing. Sekedar catatan saja, setelah penerapan BK biji kakao tersebut malah muncul lima perusahaan asing baru yang masuk. Kelima perusahaan tersebut antara lain adalah, Barry Callebaut berkapasitas 30.000 ton per tahun di Makassar dan 100.000 ton di Bandung. Selain itu ada juga Cargill yang memiliki kapasitas terpasang 60.000 ton per tahun, Guan Chong Cocoa berkapasitas 120.000 ton per tahun, JB Cocoa berkapasitas 50.000 ton dan Transmar berkapasitas 20.000 ton per tahun. Sekedar catatan, total kapasitas terpasang dari perusahaan pengolahan biji kakao dalam negeri termasuk yang mati suri mencapai 850.000 ton per tahun. Dari jumlah tersebut, yang berstatus siap giling hanya mencapai 650.000 ton per tahun. Investasi untuk pembangunan pabrik pengolahan biji kakao setengah jadi seperti cocoa powder, cocoa cake, dan cocoa butter cukup besar. Zulhefi bilang, untuk pabrik berkapasitas 10.000 ton per tahun, setidaknya dana yang harus dikeluarkan perusahaan mencapai US$ 10 juta.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News