KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah berencana menerapkan family office atau pengelolaan bisnis orang kaya, sebagai salah satu sektor yang dapat memberi dampak perekonomian. Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menilai, munculnya rencana penerapan family office ini karena pemerintah hanya ingin menarik para konglomerat menyimpan uangnya di Indonesia, seperti yang dilakukan Singapura, Swiss, dan Luxemburg. Padahal, jika ingin memberi dampak ke ekonomi, investasi yang dilakukan Family Office harusnya mengarah ke sektor riil untuk membangun pabrik dan meningkatkan produksi sehingga ada penciptaan lapangan pekerjaan.
"Kalau hanya menyimpan uang saja saya rasa tidak berdampak luas dan rentan terjadi capital flight ketika suku bunga turun," ujar Esther kepada Kontan, Kamis (4/7).
Baca Juga: Pemerintah Rancang Aturan Pengelolaan Bisnis Orang Kaya, Luhut yang Menyiapkan Jika ingin mendorong ke investasi riil, Esther meminta pemerintah menyiapkan skema public private partnership dengan skema yang saling menguntungkan dan jangka panjang, seperti di proyek-proyek strategis. "Investasi riil ini juga perlu diberi insentif dan return atau tingkat pengembalian yang menguntungkan dalam jangka panjang," ucap Esther. Namun, jika pemerintah bertujuan hanya ingin menarik uang dari family office, Esther meminta pemerintah menyiapkan investment house yang bisa menjamin kepastian return yang menguntungkan penanam modal jangka panjang. Investment house juga mesti menjamin kerahasian dan keamanan bahwa uang mereka benar-benar aman. Serta biaya operasional yang murah. Ini bisa dilihat di Swiss dan Liechtenstein yang menjadi surga menyimpan uang, kerahasiaan yang sangat aman dan terjamin. Esther menyinggung kondisi Indonesia yang saat ini masih mempunyai problem private data protection, bahkan database pusat data nasional (PDN) yang diretas. Padahal, jika ingin membentuk family office, maka masalah data protection harus segera diatasi. Karena kuncinya orang mau menyimpan uang di Indonesia adalah karena faktor aman, kerahasiaan terjaga, dan return tinggi. Meski begitu, Esther mengatakan, hingga saat ini belum ada kajian atau hasil riset yang menjelaskan dampak penerapan family office terhadap perekonomian negara yang telah menerapkan family office. "Belum (ada kajian atau hasil riset). Harus dihitung dulu dengan alat analisis dampak," ungkap Esther. Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan mengatakan, menurut data dari The Wealth Report, populasi individu super kaya raya di Asia diperkirakan akan tumbuh 38,3% selama periode 2023-2028. Peningkatan jumlah aset finansial dunia yang diinvestasikan di luar negara asal juga diproyeksikan akan terus meningkat. Family office sendiri merupakan salah satu upaya untuk menarik kekayaan dari negara lain untuk pertumbuhan ekonomi nasional. Dengan memiliki family office, bukan hanya meningkatkan peredaran modal di dalam negeri nantinya, tetapi juga menghadirkan potensi peningkatan PDB dan lapangan kerja dari investasi dan konsumsi lokal. Saat ini ada beberapa negara di dunia yang menjadi tuan rumah dari aset tersebut, dua diantaranya dari Asia yakni Singapura dengan 1500 family office, dan Hongkong yang memiliki 1400 family office. Namun akhir-akhir ini, peningkatan kondisi geopolitik di Hongkong, serta perubahan regulasi investasi di Singapura meningkatkan risiko dan ketidakpastian investor. "Inilah yang membuat Indonesia bisa mengambil kesempatan untuk menjadi alternatif dengan membentuk Wealth Management Centre, karena kondisi pertumbuhan ekonomi kita cukup kuat, kondisi politik pun juga stabil, serta orientasi geopolitik kita yang netral," ujar Luhut.
Baca Juga: Pemerintah Siapkan Kebijakan Pengelolaan Bisnis Kekayaan Keluarga Super Tajir Berdasarkan perhitungan terkini, ada sekitar US$ 11,7 triliun dana kelolaan family office di dunia. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno mengatakan, jika Indonesia bisa meraih 5% dari jumlah itu, maka akan ada potensi dana kelolaan family office di Indonesia sebesar US$ 500 miliar.
Meski potensi dana kelolaan besar, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara khawatir investasi family offices tidak masuk ke sektor riil seperti pembangunan pabrik. Melainkan hanya diputar di instrumen keuangan seperti pembelian saham dan surat utang. "Jadi dampak ke perputaran ekonomi juga terbatas," ucap Bhima. Bhima juga menyatakan bahwa ide menarik minat family offices dari keluarga super kaya bertolak belakang dari hasil survei yang menunjukkan 86% masyarakat di Indonesia mendukung pemberlakuan pajak kekayaan/wealth tax. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat