KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah nampaknya ragu dalam menerapkan pemungutan pajak baru. Seperti yang diketahui rencana pengenaan cukai pada produk plastik dan minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) batal diterapkan pada tahun ini. Padahal rencana pengenaan cukai plastik dan MBDK ini sudah diwacanakan sejak tahun 2016. Menyusul cukai plastik dan MBDK, kini pemerintah juga menunda lagi penerapan pajak karbon untuk kedua kalinya. Untuk diketahui, pajak karbon sebelumnya direncanakan bakal terapkan pada April 2022, namun rencana tersebut ditunda dan bergeser menjadi Juli 2022. Risiko global yang membayangi pemulihan ekonomi Indonesia menjadi peyebab penundaan pemungutan pajak baru ini.
Ketua Bidang Kajian Akuntansi dan Perpajakan Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) Ajib Hamdani menilai bahwa penundaan pajak karbon bukan menjadi opsi yang ideal. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) pasal 17 (3) mengamanahkan agar pajak karbon mulai dikenakan pada 1 April 2022.
Baca Juga: Pemerintah Sudah Raih Setoran PPh Rp 34,66 Triliun dari Peserta Tax Amnesty Jilid II "UU HPP ini sudah disahkan sejak Oktober 2021. Pemerintah relatif punya cukup waktu untuk membuat formulasi kebijakan. Harus ada komitmen dari pemerintah dan kepastian hukum yang berkelanjutan dari aturan turunan atas UU HPP tersebut," kata Ajib kepada Kontan.co.id, Sabtu (25/6). Jika melihat ke belakang, pemerintah konsisten untuk menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 10% menjadi 11% pada tanggal 1 April 2022. Dua hal tersebut sama-sama diatur dalam UU HPP tersebut. Namun Ajib mempertanyakan terkait konsideran yang digunakan oleh pemerintah, ketika membuat keputusan berbeda atas sebuah aturan yang sama. "Jangan sampai kebijakan pemerintah yang konsisten menaikkan tarif PPN tetapi di sisi lain menunda pajak karbon, kemudian terbaca menjadi sebuah kontradiksi kebijakan fiskal yang kurang berpihak kepada masyarakat luas," katanya. Wakil Ketua III Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Widjaja Kamdani mengatakan bahwa semua bentuk ekspansi basis pajak seperti pengenaan pajak karbon dan cukai plastik serta MBDK akan selalu berimbas negatif pada daya beli, harga pasar dan daya saing usaha. Sehingga pada umumnya ekspansi basis pajak dilakukan ketika ekonomi tumbuh pesat. Shinta menilai, dalam kondisi saat ini di mana tekanan tinggi terhadap daya beli masyarakat dan inflasi yang disertai dengan proyeksi pertumbuhan pasar domestik dan internasional yang lambat, tentu ini bukan waktu yang tepat untuk menetapkan kebijakan tersebut. "Kalau salah perhitungan, ekonomi kita bisa stagnan di paruh kedua 2022," kata Shinta. Terlebih lagi diperkirakan penerimaan pajak bisa melebihi target meski tanpa adanya ekspansi basis pajak, sehingga menurutnya secara empiris tidak ada kebutuhan mendesak bagi pemerintah untuk melakukan ekspansi pajak dalam waktu dekat, setidaknya hingga akhir tahun.
Baca Juga: Penerimaan PPh Badan Tumbuh 127,5%, Ini Penyebabnya "Terkait apakah kebijakan ini disebabkan oleh ketidaksiapan regulasi turunan, kami meyakini penundaan ini lebih disebabkan oleh pertimbangan kondisi ekonomi global dan nasional," tuturnya.
Namun ia mengatakan, Kadin selalu menyampaikan kepada pemerintah untuk berkonsultasi terlebih dahulu kepada pelaku usaha sebelum menerapkan sebuah peraturan dan dibutuhkan analisa teknis yang lebih detail. Sehingga Shinta berharap, penundaan tersebut dapat menjaga daya beli masyarakat, memoderasi kenaikan inflasi serta mendukung peningkatan kinerja ekonomi pelaku usaha khususnya pada semester II 2022. "Karena itu kami sangat mengapresiasi keputusan pemerintah untuk menunda pelaksanaan kebijakan pajak karbon & cukai terhadap produk tertentu," tandasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi