JAKARTA. Penerapan standar akuntansi baru untuk laporan keuangan perbankan atau PSAK 50/55 diyakini akan menutup celah bagi para bankir melakukan window dressing atau merekayasa laporan keuangan bank untuk tujuan tertentu. Contoh, 'memainkan' pencadangan untuk mengatur laba. Deputi Direktur Pengawasan II Bank Indonesia (BI) Duddy Iskandar menuturkan, dengan merujuk PSAK 50/55, bank harus melaporkan kondisi neraca yang benar saat pelaporan. "Kalau pencadangannya tidak besar, bank tidak boleh menumpuk terlalu banyak. Sisa pencadangan dimasukkan sebagai laba ditahan, di sisi aset. Jadi, kalau laba besar harus dilaporkan besar. Sebaliknya, kalau kecil, ya kecil," jelasnya, Selasa (11/5). Konsep PSAK 50/55 menuntut bank menentukan cadangan berdasarkan data historis kerugian kredit yang sudah terjadi atau incurred loss. Data yang menjadi patokan harus berusia minimal tiga tahun, meski idealnya antara tiga sampai lima tahun.
Penerapan PSAK Cegah Window Dressing
JAKARTA. Penerapan standar akuntansi baru untuk laporan keuangan perbankan atau PSAK 50/55 diyakini akan menutup celah bagi para bankir melakukan window dressing atau merekayasa laporan keuangan bank untuk tujuan tertentu. Contoh, 'memainkan' pencadangan untuk mengatur laba. Deputi Direktur Pengawasan II Bank Indonesia (BI) Duddy Iskandar menuturkan, dengan merujuk PSAK 50/55, bank harus melaporkan kondisi neraca yang benar saat pelaporan. "Kalau pencadangannya tidak besar, bank tidak boleh menumpuk terlalu banyak. Sisa pencadangan dimasukkan sebagai laba ditahan, di sisi aset. Jadi, kalau laba besar harus dilaporkan besar. Sebaliknya, kalau kecil, ya kecil," jelasnya, Selasa (11/5). Konsep PSAK 50/55 menuntut bank menentukan cadangan berdasarkan data historis kerugian kredit yang sudah terjadi atau incurred loss. Data yang menjadi patokan harus berusia minimal tiga tahun, meski idealnya antara tiga sampai lima tahun.