KONTAN.CO.ID - Bencana gempa bumi yang melanda Kabupaten Malang, Jawa Timur dan sekitarnya pada Sabtu (10/4/2021) menyebabkan kerusakan pemukiman dan bangunan publik. Sebagai bangsa yang sering dilanda gempa perlu cara yang tepat untuk mereduksi risiko gempa, terutama untuk infrastruktur publik. Sayangnya hingga kini ketaatan untuk menerapkan standar ketahanan gempa masih rendah. Sejak Standar Nasional Indonesia (SNI)-03-1726-2002 tentang standar bangunan tahan gempa diterbitkan lalu direvisi menjadi SNI 1726-2012 belum ada kebijakan yang konsisten. Revisi diatas terjadi atas pertimbangan keberlanjutan dan meminimalkan kerusakan bangunan gedung akibat gempa bumi berdasar sejarah gempa masa lalu dan langkah-langkah mitigasi standar baru. Padahal Indonesia sering mengalami serangkaian kejadian gempa kuat dengan Magnitudo gempa lebih dari enam skala Richter, sehingga faktor reduksi gempa berubah dari waktu ke waktu.
Namun pemerintah daerah masih lemah dalam penerapan kebijakan standar bangunan tahan gempa. Perubahan mendasar standar baru bangunan tahan gempa prinsipnya ada di tingkat kinerja runtuhnya struktur. Celakanya, kesiapan para praktisi dan pemerintah daerah untuk menghadapi perubahan itu, terutama pada implikasi anggaran pelaksanaan proyek, dan mekanisme pengadaan barang dan jasa belum mampu beradaptasi. Diperparah lagi dengan rendahnya kualitas pendidikan praktisi dan pejabat pemerintah lokal. Akibatnya, pelaksanaan standar baru terasa lambat diterapkan dan bermasalah bagi keberlanjutan konstruksi gedung. Salah satu contoh, publik melihat bangunan rumah sakit yang mengalami rusak berat akibat gempa. Padahal pengelolaan bangunan rumah sakit menjadi prioritas penting pada manajemen bangunan publik terutama pasca gempa hebat di beberapa negara di dunia. Idealnya, suatu struktur bangunan rumah sakit pasca gempa diharapkan mampu untuk tetap berdiri dan secara fungsional masih bisa memberikan pelayanan kesehatan. Teknologi bangunan tahan gempa untuk rumah sakit berkembang pesat pasca gempa Meksiko tahun 1985, terutama di negara maju seperti di Jepang dan Amerika Serikat. Namun, implementasi dan pemahaman konsep keberlanjutan dalam pembangunan di negara berkembang perkembangannya kurang menggembirakan karena rendahnya kapasitas para pemangku kepentingan, tidak adanya konsep keberlanjutan dan masalah biaya.
Bangunan tahan gempa Beberapa penelitian tentang kebijakan publik terkait penerapan standar bangunan tahan gempa, sebagian besar masih berfokus pada masalah teknis belaka. Sedikit yang melihat pada perspektif yang lebih luas seperti dampak sosial ekonomi dan tingkat pemahaman pelaku konstruksi. Pengalaman di kota California menunjukkan bahwa penerapan teknologi bangunan tahan gempa menghadapi permasalahan mendasar seperti kebijakan politik dan dampak ekonomi berkaitan dengan kemampuan masyarakat untuk mengadaptasinya. Serta keterbatasan pemerintah lokal dalam mitigasi kebijakan yang akan diterapkan. Ada baiknya menyimak pengalaman negara Turki yang telah melakukan identifikasi beberapa penyebab keruntuhan gedung akibat gempa. Antara lain berkaitan dengan faktor-faktor seperti tidak adanya pembaruan peta risiko gempa. Kemudian juga adanya modifikasi konstruksi selama periode penggunaan bangunan, permasalahan tidak akuratnya administrasi proyek dan desain sehingga sulit dilakukan mitigasi penyebab kerusakan struktur, kegagalan retrofit dari gempa sebelumnya, serta kurangnya perhatian pada masalah pemeliharaan gedung yang menyebabkan reduksi kapasitas atau kekuatan bahan. Maka ketaatan bangunan publik terhadap standar ketahanan gempa dimasa mendatang merupakan keniscayaan. Apalagi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pernah membuat skenario dan simulasi jika terjadi gempa besar di Indonesia yang berpotensi menewaskan ribuan orang. Skenario tersebut berupa dokumen rencana tanggap darurat. Menjelaskan kontingensi berdasarkan skenario terburuk atas terjadinya gempa besar. Badan Pengurangan Risiko Bencana PBB menyatakan bahwa dengan skenario dan simulasi tersebut, diketahui bangsa Indonesia kini belum siap dengan risiko bencana. Oleh sebab itu diperlukan langkah-langkah untuk memperbaiki sistem mitigasi dan penegasan peraturan dan teknik pendirian bangunan. Karena dalam simulasi oleh PBB itu disebutkan bahwa keruntuhan bangunan banyak memakan korban jiwa. Skenario dan simulasi gempa oleh PBB perlu ditindaklanjuti dengan sosialisasi standar dan penerapan bangunan yang akrab dengan gempa. Pemerintah daerah harus memiliki pengetahuan dan komitmen yang tinggi untuk mereduksi risiko bencana. Pemerintah telah menerbitkan buku Peta Sumber dan Bahaya Gempa Bumi Indonesia tahun 2017 yang dapat dipakai sebagai pedoman untuk mendesain konstruksi bangunan di daerah rawan gempa bumi. Langkah-langkah mitigasi gempa bumi perlu segera dilakukan. Indeks risiko bencana perlu diturunkan dan kinerja pemerintah daerah terkait bencana harus ditingkatkan. Arah kebijakan pembangunan nasional bidang kebencanaan adalah mengurangi risiko bencana dan meningkatkan ketangguhan pemerintah pusat dan daerah serta masyarakat dalam menghadapi bencana. Untuk itu perlu strategi internalisasi pengurangan risiko bencana gempa khususnya penurunan tingkat kerentanan terhadap bencana dan peningkatan kapasitas dalam penanggulangan. Target penurunan indeks risiko bencana sangat dipengaruhi komponen penyusunnya yaitu komponen bahaya, kerentanan dan kapasitas. Dari ketiga komponen penyusun indeks risiko, komponen bahaya merupakan komponen yang sangat kecil kemungkinan untuk diturunkan. Maka indeks risiko bencana dapat diturunkan dengan cara peningkatan kapasitas atau komponen kapasitas. Peningkatan kapasitas dapat dilakukan pada setiap tataran pemerintahan dan masyarakat. Untuk mempercepat penanganan pasca bencana gempa bumi diperlukan sistem teknologi tepat guna yang bisa diterapkan secara cepat dan massal. Seperti pembuatan infrastruktur jalan, jembatan, bangunan air, kelistrikan dan perumahan korban bencana. Masalah tahapan rekonstruksi dan rehabilitasi korban bencana juga memerlukan solusi teknis yang optimal.
Maka perlu ada sistem pembangunan rumah siap pakai dalam waktu cepat. Ada baiknya kita mengadopsi teknologi dan cara kerja
Habitat for Humanity dari Selandia Baru. Mereka mampu membangun sebuah rumah siap pakai dengan empat kamar tidur bagi korban bencana dan kelompok miskin. Betapa hebatnya durasi proyek itu, karena tiap unit rumah bisa dibangun dalam tempo tiga jam. Penulis : Totok Siswantara Pengkaji Transformasi Teknologi dan Infrastruktur Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti