KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Obligasi korporasi menjadi salah satu instrumen investasi yang dipandang kurang menarik dalam masa pandemi virus corona saat ini. Pasalnya, perusahaan penerbit obligasi dinilai kinerjanya akan banyak mengalami penurunan seiring potensi perlambatan ekonomi imbas virus corona. Dus, risiko default pun muncul ke permukaan dan menjadi salah satu faktor utama yang membuat obligasi korporasi kehilangan peminatnya. Head of Economics Research Pefindo Fikri C Permana tak menampik bahwa peningkatan risiko kredit yang mengarah pada peningkatan default di hampir semua korporasi dalam negeri memang nyata adanya.
Baca Juga: Dibayangi risiko gagal bayar, permintaan terhadap obligasi korporasi turun “Namun kembali lagi, kami juga mengamati bahwa korporasi dengan rating lebih baik memiliki kecenderungan
rating transition mereka lebih cenderung untuk tetap atau membaik. Pada saat yang sama, kami juga melihat kemungkinan tidak terjadinya (
survival pool)
default untuk akan semakin baik sesuai dengan rating yang lebih baik,” terang Fikri kepada Kontan.co.id, Jumat (29/5). Dengan kondisi tersebut, Head of Fixed Income Trimegah Asset Management Darma Yudha menilai, ada peluang peminat obligasi korporasi belum akan kembali seperti sedia kala sebelum virus corona menyebar, setidaknya dalam waktu dekat. Meski terdapat titik terang dengan pelonggaran PSBB, dan secara global ataupun nasional penambahan likuiditas cukup terasa, Yudha menyebut kekhawatiran masih cukup menyelimuti para investor. Menurutnya, ada ketakutan gelombang kedua virus corona akan terjadi ketika situasi new normal mulai berlaku. “Memang ekonomi akan bisa rebound, hanya saja tidak akan langsung pulih dalam waktu cepat. Oleh sebab itu, investor akan mengamati perkembangan terlebih dahulu, sebelum kembali memburu obligasi korporasi,” kata Yudha Merujuk data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), sepanjang Mei tercatat ada beberapa perusahaan yang menerbitkan obligasi korporasi di antaranya ADMF, WOM Finance, Hartadinata Abadi, hingga Toyota Astra Finance.
Baca Juga: Risiko gagal bayar obligasi korporasi meningkat, begini strategi manajer investasi Dari kupon yang ditawarkan, rentangnya pun beragam. Mulai dari 7% hingga yang tertinggi 10%. Jika dibandingkan dengan periode Januari - Februari atau ketika pandemi belum menyebar, besaran kupon tersebut tidak banyak mengalami perubahan yang signifikan. Fikri menyebut perubahan besaran kupon tersebut tercermin dari nilai suku bunga acuan Bank Indonesia yang juga turun untuk waktu yang sama. “Namun juga perlu dilihat bahwa dengan adanya risiko global, peningkatan nilai rupiah, dan meningkatnya
credit default swap (CDS) Indonesia, menjadikan yield (dan kupon) surat utang berfluktuasi,” tandas Fikri. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto