Penerbitan obligasi korporasi di dalam negeri semakin menantang



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) belum lama ini mengimbau risiko membengkaknya utang baru korporasi global beberapa tahun mendatang. Di tengah menurunnya selera risiko investor dan kualitas surat utang, perusahaan disarankan untuk tidak menambah utang baru dalam bentuk surat utang atau obligasi.

Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih menilai, imbauan OECD tersebut sejatinya tak berkorelasi langsung dengan pasar obligasi korporasi Indonesia. Pasalnya, penerbitan surat utang oleh korporasi di dalam negeri masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan utang korporasi melalui perbankan.

Namun, Lana mengatakan, pasar obligasi korporasi Indonesia juga memiliki risikonya sendiri. Di antaranya, dominasi penerbitan obligasi oleh perusahaan pembiayaan yang memiliki risiko default yang lebih tinggi.


Berdasarkan data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), penerbitan surat utang nasional mencapai Rp 132,42 triliun pada 2018. Perusahaan pembiayaan berkontribusi 31,57% dari total penerbitan surat utang, atau senilai Rp 41,81 triliun.

Sepanjang 2018, terdapat 23 perusahaan pembiayaan yang menerbitkan surat itu, baik dari industri multifinance, Pegadaian, SMF, SMI dan lainnya. Surat utang korporasi tersebut terdiri dari obligasi, medium term notes, sukuk, serta sekuritisasi.

"Tanpa faktor global sekali pun, kondisi kinerja perusahaan pembiayaan semakin melesu sehingga penerbitan surat utangnya jadi lebih berisiko. Kasus default yang terjadi dalam kurun beberapa tahun ini juga berasal dari perusahaan multifinance," ujar Lana, Minggu (3/3).

Di samping itu, perusahaan juga mesti bersaing dengan pemerintah dalam memperoleh likuiditas di pasar. Dengan maraknya penerbitan surat berharga negara (SBN) dengan tingkat kupon yang tinggi, perusahaan mesti menanggung biaya yang lebih tinggi dalam menerbitkan obligasi.

"Ada perebutan dana di pasar, terutama pemerintah banyak menerbitkan obligasi untuk ritel dan berjangka pendek tahun ini dengan target gross Rp 826 triliun sepanjang tahun ini," kata Lana.

Ia menyimpulkan, kondisi pasar obligasi korporasi Indonesia saat ini masih aman dan tak mengalami situasi genting seperti yang diperingatkan OECD. Hanya saja, perusahaan justru mengalami tantangan dalam mencari pendanaan lewat pasar modal di tengah ketatnya likuiditas pasar saat ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati