Penerbitan Obligasi Korporasi Masih Lesu Hingga Juni 2023



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penerbitan obligasi korporasi lesu sepanjang tahun berjalan ini. Hal ini seiring dengan tingginya surat utang korporasi.

Economic Research Division Pefindo Suhindarto memaparkan, tren penerbitan surat utang korporasi sepanjang tahun 2023 ini turun jika dibandingkan tahun sebelumnya. Berdasarkan data surat utang yang listing dari KSEI per tanggal 23 Juni, terdapat Rp 46,98 triliun surat utang yang terbit atau lebih rendah 35,4% dibandingkan semester I-2022 yang mencapai Rp 72,73 triliun.

Dia menilai bahwa salah satu penyebab penurunan tersebut adalah lebih rendahnya surat utang yang jatuh tempo. Jika dibandingkan antara semester I-2023 dengan semester I-2022, jatuh tempo semester I ini lebih rendah 19,97% sehingga kebutuhan untuk melakukan refinancing juga menurun.


"Di samping itu, suku bunga yang relatif lebih tinggi juga memberikan dampak pada penerbitan surat utang korporasi yang lebih rendah di tahun ini," kata Suhindarto kepada Kontan.co.id, Jumat (23/6).

Baca Juga: Ekonom: Tak Ada Urgensi Kenaikan Suku Bunga BI Tahun Ini

Suku bunga acuan pada awal tahun lalu masih berada di angka 3,50%. Sementara di tahun ini telah dinaikkan ke level 5,75% sejak Januari 2023.

"Suku bunga acuan yang lebih tinggi akan menghasilkan kupon yang lebih tinggi juga dan membuat biaya penerbitan surat utang korporasi relatif lebih tinggi dibandingkan dengan periode yang sama di tahun lalu," tambah dia.

Suhindarto mengatakan, bunga surat utang korporasi juga bergerak naik yang terindikasi dari kupon yang dibayarkan. Kenaikan suku bunga oleh bank sentral beberapa bulan sebelumnya telah tertransmisi ke pasar surat utang korporasi. Sebagai akibatnya, perusahaan harus membayar bunga yang lebih mahal untuk penerbitan baru mereka.

Berdasarkan data penerbitan selama Januari-Juni 2023, kenaikan kupon untuk tenor 3 tahun secara rata-rata adalah sebesar 40 bps. Kenaikan tersebut lebih moderat dibandingkan dengan tenor 1 tahun yang bisa di atas 90 bps.

"Kenaikan yang lebih tinggi pada tenor 1 tahun terjadi akibat tingginya pasokan baru, yang mana kemudian memaksa emiten untuk memberikan bunga relatif tinggi untuk menarik permintaan," papar dia.

Baca Juga: Pemerintah Segera Terbitkan ORI023, Berapa Proyeksi Besaran Kuponnya?

Adapun tenor 1 tahun mendominasi penerbitan hingga Juni 2023 dengan porsi dari nilai total penerbitan hingga 39,6%. Sementara di peringkat kedua adalah surat utang bertenor 3 tahun dengan porsi 36,4% dari total penerbitan Januari-Juni 2023.

Mari ambil contoh. Rata-rata kupon surat utang korporasi berperingkat AAA tenor 1 tahun naik dari 4% menjadi 6%. Sementara itu, untuk peringkat BBB dengan tenor yang sama, persentasenya naik dari 10,4% menjadi 10,5%.

Menurut Suhindarto, kenaikan lebih tinggi pada peringkat AAA daripada BBB tersebut terjadi karena kenaikan premi setelah terkoreksi cukup dalam selama pemulihan ekonomi. "Investor banyak memburu peringkat AAA untuk mengamankan investasi mereka, mendorong permintaan naik dan premi turun," paparnya.

Sementara itu, rata-rata kupon surat utang korporasi berperingkat AAA tenor 3 tahun naik dari 6,2% menjadi 6,7%. Sedangkan untuk peringkat BBB, persentasenya naik dari 10,5% menjadi 11,4%.

Baca Juga: Kinerja Sektor Konstruksi Dibayangi Beban Utang, Simak Rekomendasi Sahamnya

Prospek Kupon

Pefindo memperkirakan tren kupon obligasi korporasi masih akan tinggi tahun ini dan mulai turun di 2024. Meskipun memang ada ekspektasi penurunan suku bunga mempertimbangkan tingkat inflasi yang terus melambat dan terbaru telah mencapai rentang target BI di bulan Mei.

"Namun demikian, BI tampaknya masih harus mempertahankan suku bunga saat ini untuk menjaga rupiah untuk tidak tertekan terlalu dalam akibat potensi arus modal keluar dan potensi mengecilnya surplus neraca dagang," kata Suhindarto.

Di sisi lain, tekanan terhadap rupiah diperkirakan masih akan tinggi akibat ketidakpastian eksternal. Hal itu mendorong risk averse, meningkatkan kecenderungan investor untuk memburu aset safe havens dan mengurangi eksposur aset berisiko di negara berkembang, serta selisih (spread) yang menipis antara suku bunga domestik dengan suku bunga Amerika Serikat (AS).

Dia bilang, setidaknya hal itu tercermin dari statemen BI dalam rilis kebijakan suku bunga di bulan Juni. BI memfokuskan kebijakan pada penguatan stabilisasi nilai rupiah untuk mengendalikan inflasi barang impor (imported inflation).

Baca Juga: Masih Ada 45 Emiten Antre IPO di Bursa Efek Indonesia (BEI)

Karenanya, dia menilai perkembangan suku bunga masih akan menjadi faktor dominan dalam mempengaruhi tren kupon ke depan. Hal tersebut juga akan mempengaruhi yield surat utang acuan.

Sementara itu pertumbuhan ekonomi, leverage keuangan dan peringkat akan mempengaruhi premi yang dibayarkan oleh perusahaan. "Hingga akhir tahun 2023, kami memperkirakan kupon akan berkisar antara 6,5%-8% untuk peringkat AAA tenor 3 tahun. Sementara itu, untuk peringkat BBB dengan tenor yang sama, kupon diperkirakan akan naik ke kisaran 10,5%–11,5%," tegasnya.

Tingkat kupon yang relatif lebih tinggi membuat biaya penerbitan surat utang relatif lebih mahal. Hal ini kemudian akan membuat emiten cenderung lebih memilih untuk mencari pendanaan dari sumber lain seperti pinjaman perbankan ataupun melakukan downsizing dari rencana nilai penerbitan sebelumnya.

Baca Juga: Mencari Reksadana yang Rutin Mencetak Cuan

"Bahkan, bisa saja dimungkinkan mereka akan menunda penerbitan surat utang yang tujuannya untuk ekspansi/modal kerja perusahaan, dan jika mereka memiliki surat utang yang jatuh tempo, mereka akan lebih cenderung untuk melunasi pokok dan kupon surat utangnya ketika mereka memiliki likuiditas yang berlebih," katanya.

Sementara dari sisi investor, Suhindarto menilai kenaikan kupon di tahun ini merupakan peluang yang baik untuk menanamkan dana. Sebab, investor akan mendapatkan imbal hasil yang lebih tinggi dari sebelumnya.

"Sejauh ini, imbal hasil yang ditawarkan oleh surat utang korporasi relatif lebih menarik jika dibandingkan dengan berinvestasi pada instrumen lainnya seperti saham maupun deposito," tutup dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati