KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Korporasi diperkirakan masih akan menahan penerbitan surat utang di tengah kuatnya kabar pemangkasan suku bunga acuan. Walau biaya penerbitan lebih rendah, namun permintaan obligasi dipandang masih akan terbatas. Kepala Divisi Riset PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Suhindarto memandang, pemangkasan suku bunga Fed di September menjadi sentimen positif bagi penerbitan surat utang korporasi dalam negeri. Hal itu akan mendorong
yield benchmark (obligasi pemerintah) bergerak turun, yang pada akhirnya akan ikut mendorong yield obligasi korporasi. Sebagaimana kita lihat,
yield atau imbal hasil tenor 10 tahun telah turun ke 6,8% pada minggu lalu setelah sebelumnya berada di atas 7% seiring dengan tekanan pada nilai tukar.
Baca Juga: Suku Bunga Dipangkas, Obligasi Korporasi Makin Merekah “Penurunan yield tersebut turut berkontribusi positif bagi biaya penerbitan yang lebih rendah,” kata Darto kepada Kontan.co.id, Senin (12/8). Hanya saja, Darto menjelaskan, dampak positif suku bunga dipangkas mungkin belum akan signifikan karena pemangkasan tersebut baru yang pertama kali dan kabar the Fed akan segera memangkas suku bunga baru tersiar dalam satu pekan terakhir. Selain itu, suku bunga tinggi saat ini juga membatasi prospek pertumbuhan ekonomi, yang mana pada akhirnya membatasi kebutuhan pendanaan bagi perusahaan untuk melakukan ekspansi usahanya. Beberapa emiten membutuhkan waktu untuk mereformulasi kebutuhan pendanaan dan mengambil keputusan apakah akan mulai menerbitkan surat utang dalam beberapa bulan ke depan. Sehingga, kemungkinan dua atau tiga minggu ke depan, efek kuatnya sinyal pemotongan suku bunga bagi aktivitas penerbitan obligasi korporasi baru mulai terlihat. Darto menggarisbawahi, perusahaan menerbitkan obligasi korporasi pun tidak hanya karena alasan biaya dana lebih murah. Tapi alasan lainnya adalah memenuhi kebutuhan pendanaan untuk membiayai modal kerja atau investasi. Jadi, meski lebih murah karena peluang pemangkasan suku bunga, namun bisnis belum tentu serta-merta menerbitkan surat utang. Perusahaan akan melihat prospek permintaan surat utangnya karena terkait erat dengan pertumbuhan ekonomi. “Jika korporasi melihat permintaan tumbuh kuat, mereka baru akan berinvestasi dan pada akhirnya, mengakses pendanaan dari obligasi. Tapi, jika tidak, mereka tentu tidak perlu menerbitkan obligasi karena tidak ada kebutuhan pendanaan,” ujar Darto. Darto menjelaskan, artinya adalam kondisi saat ini, penerbitan obligasi kemungkinan besar didorong oleh kebutuhan untuk me
-refinancing surat utang yang mahal dengan yang lebih murah. Sementara itu, penerbitan yang didorong oleh kebutuhan investasi kemungkinan masih akan rendah. Dengan demikian, Pefindo masih mempertahankan target penerbitan obligasi korporasi di tahun 2024 berada dalam kisaran Rp 148,15 triliun hingga Rp 169,05 triliun, dengan titik tengah berada di Rp 155,46 triliun. “Alasan kami masih belum mengubah proyeksi karena kami melihat indikator-indikator yang melandasi proyeksi tersebut masih relatif berada dalam skenario yang kami perkirakan. Sehingga, kami melihat belum ada kebutuhan untuk merevisi karena masih
in-line dengan perkiraan kami di awal tahun,” imbuh Darto. Di sisi lain, Darto menilai adanya rencana pembatasan penerbitan SBN oleh pemerintah dapat menjadi katalis tambahan untuk yield obligasi korporasi turun yang akhirnya bisa bikin biaya penerbitan lebih murah. Namun demikian, sentimen pembatasan suplai SBN ini tidak serta merta bakal membuat obligasi korporasi jadi lebih menarik daripada obligasi pemerintah.
Baca Juga: OJK Terbitkan Aturan Terkait Obligasi & Sukuk Daerah, Ini Rinciannya Seperti diketahui, dalam realisasi APBN semester I 2024, pemerintah memutuskan untuk meningkatkan penarikan pinjaman dan mengurangi penerbitan SBN. Adapun target penerbitan SBN dipangkas menjadi Rp 451,9 triliun dari semula Rp 666,4 triliun untuk tahun 2024. Menurut Darto, obligasi pemerintah masih menawarkan imbal hasil yang relatif tinggi. Pembatasan tersebut menjadi katalis bagi harga untuk naik. Sehingga, beberapa investor mungkin akan memburu obligasi pemerintah dalam waktu dekat ini sebelum harganya mulai mahal. “Biasanya investor akan memberikan bobot yang lebih besar pada obligasi pemerintah daripada obligasi korporasi karena lebih aman. Jadi, langkah pembatasan tersebut tidak akan serta merta mendorong peralihan investasi dari obligasi pemerintah ke obligasi korporasi,” tuturnya. Berdasarkan data Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI), Senin (12/8), posisi yield obligasi pemerintah tenor 5 tahun sekitar 6,67% dan tenor 10 tahun sekitar 6,84%. Sedangkan, posisi yield obligasi korporasi tenor 5 tahun rating AAA, AA, A, serta rating BBB masing-masing berkisar 7,32%, 8,06%, 9,99% dan 11,86%. Untuk posisi yield obligasi korporasi tenor 10 tahun rating AAA, AA, A, BBB yakni 7,52%, 8,58%, 10,58% dan 12,86%. Adapun Pefindo mencatat penerbitan obligasi korporasi secara nasional di semester I 2024 tercatat sebesar Rp 61,29 triliun, baik dari BUMN maupun non-BUMN. Capaian itu naik 33,29% dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 45,99 triliun. Sementara itu, nilai jatuh tempo obligasi korporasi di kuartal III 2024 sebesar Rp 42,5 triliun, lalu di kuartal IV senilai Rp 42,51 triliun. Secara total untuk semester II 2024 ada Rp 85,01 triliun, lebih tinggi dibandingkan dengan semester I 2024 sebesar Rp 65 triliun.
Terlepas dari itu, Darto menyebutkan, korporasi mungkin akan lebih banyak menerbitkan surat utang jangka pendek. Maklum, kondisi saat ini dinilai masih baru awal siklus pemangkasan suku bunga. “Dalam kondisi sekarang ini, penerbitan surat utang jangka pendek menjadi peluang bagus karena diharapkan akan jatuh tempo pada saat suku bunga lebih rendah lagi periode mendatang. Sehingga, perusahaan bisa mengganti obligasi berbunga tinggi yang jatuh tempo dengan yang lebih murah, memanfaatkan lingkungan suku bunga yang lebih rendah,” ucap Darto. Berdasarkan realisasi hingga Juli 2024, sebagian besar penerbitan adalah bertenor pendek, di mana tenor 1 tahun mendominasi, mencapai 34.92% dari total penerbitan. Atau, jika dinominalkan, penerbitan surat utang bertenor 1 tahun mencapai Rp29,44 triliun, lebih besar daripada tenor 3 tahun (Rp27,60 triliun) dan tenor 5 tahun (Rp20,31 triliun). Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi