KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penerbitan obligasi korporasi di tahun depan bakal terganjal suku bunga tinggi. Sikap Hawkish Federal Reserve yang masih berlanjut menahan emiten untuk menerbitkan surat utang. Research & Consulting Manager PT Infovesta Utama Nicodimus Kristiantoro memperkirakan, nilai penerbitan obligasi korporasi di tahun 2023 tidak akan setinggi tahun 2022. Sebagai gambaran, tren menunjukkan bahwa rata-rata penerbitan obligasi baru dalam 5 tahun terakhir, jumlah penerbitannya sebesar 1 kali hingga 1,25 kali dari jumlah jatuh tempo.
Berkaca pada tahun ini, per 19 Desember penerbitan obligasi korporasi menjadi yang tertinggi dalam 4 tahun terakhir senilai Rp 151 triliun. Faktor utama yang mempengaruhi ialah kebutuhan
refinancing yang terlihat dari besarnya nilai obligasi jatuh tempo tahun 2022 sebesar Rp 147 triliun.
Baca Juga: Kurs Rupiah Jisdor Menguat 0,08% ke Rp 15.608 per Dolar AS, Selasa (20/12) Nah, jika dilihat dari jumlah obligasi jatuh tempo sebesar Rp 120,26 triliun di tahun 2023, maka total penerbitan obligasi korporasi diproyeksikan bakal berkisar Rp 120 triliun hingga Rp 150 triliun. "Utamanya penerbitan obligasi korporasi karena alasan
refinancing untuk pembayaran kembali utang yang jatuh tempo di tahun 2023, serta untuk ekspansi dana lanjutan," kata Nicodimus kepada Kontan.co.id, Selasa (20/12). Menurut Nicodimus, sektor yang berpotensi menerbitkan obligasi korporasi terbesar tahun 2023 adalah
multifinance dan perbankan karena kedua sektor itu mendominasi nilai
refinancing untuk tahun 2023. Sementara dari sisi rating, kelompok peringkat AAA diprediksi masih akan dominan. Penerbitan obligasi korporasi yang diramal lebih rendah ini karena menilai pula tantangan di tahun depan. Emiten dihadapkan dengan potensi kenaikan
yield khususnya pada semester 1-2023, seiring masih berlangsungnya kenaikan suku bunga acuan dari The Fed dan juga Bank Indonesia. "Biasanya
yield obligasi korporasi akan terdorong geraknya dari obligasi negara namun dengan besaran yang tidak signifikan. Obligasi korporasi cenderung bergerak kurang likuid sehingga perubahannya tidak akan sebebas obligasi negara," lanjut Nicodimus.
Baca Juga: Era Suku Bunga Tinggi Belum Usai, Simak Instrumen Investasi yang Tepat Tahun Depan Tetapi Nicodimus optimis bahwa semester kedua 2023 akan menjadi
turning point atau titik balik bagi surat utang korporasi. Dengan catatan,
yield dapat bergerak turun jika suku bunga acuan sudah stagnan alias tidak akan ada lagi kenaikan. Selain itu, prospek obligasi korporasi bakal didukung inflasi yang melandai. Terlebih bagi ekonomi Indonesia yang akan terdorong mulainya musim kampanye pemilihan umum (pemilu). Dengan demikian, investor mempunyai outlook yang bagus untuk ekonomi domestik. Nicodimus menuturkan, faktor yang mempengaruhi
yield obligasi korporasi umumnya sama dengan faktor
yield obligasi negara. Pembedanya adalah faktor risiko dasar yang dilihat dari sisi rating. Serta, faktor likuiditas obligasi korporasi yang lebih rendah membuat
yield obligasi korporasi pasti lebih tinggi dibanding obligasi negara. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati