Penerbitan Surat Utang Masih Rendah, Ini Penyebabnya



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) menyampaikan penerbitan surat utang hingga dari sektor keuangan Juli 2024 baru mencapai 61,34% dari capaian sepanjang tahun 2023. Ada banyak faktor yang membuat realisasinya masih rendah. 

Fixed Income Analyst Pefindo, Ahmad Nasrudin mengatakan, penerbitan surat utang dari sektor keuangan telah mencapai Rp 42,83 triliun selama Januari-Juli 2024.

Penerbitan surat utang itu sebagian besar berasal dari industri multifinance yang mencakup sekitar 42,06%, kemudian dari industri perbankan sebesar 20,07%, lembaga keuangan khusus sebesar 19,38%, dan pembiayaan non-multifinance sebesar 10,64%.


Angka penerbitan surat utang di sektor keuangan ini masih lebih tinggi dibandingkan dengan yang diterbitkan oleh sektor non-keuangan yang mencapai Rp 41,49 triliun di periode yang sama.

Adapun jika dibandingkan dengan yang direalisasikan pada sepanjang tahun 2023, persentase penerbitan di sektor jasa keuangan tersebut sebesar 61,34% dari apa yang terealisasi selama setahun penuh di tahun lalu. Dengan kata lain, masih ada kekurangan Rp 26,99 triliun untuk menyamai penerbitan di tahun lalu.

Baca Juga: Pefindo Catat Nilai Penerbitan Surat Utang di Sektor Keuangan Capai Rp 43,84 Triliun

"Kami melihat bahwa angka realisasi penerbitan surat utang di tahun ini masih belum tumbuh tinggi. Lingkungan bunga tinggi yang ternyata masih terus dipertahankan berdampak berdampak pada biaya dana, yang mana menjadi mahal," kata Nasrudin kepada Kontan, Senin (26/8).

Selain itu, suku bunga tinggi juga melemahkan permintaan di sektor riil, yang mana pada akhirnya berdampak negatif terhadap permintaan jasa keuangan. Perusahaan di sektor keuangan melihat prospek permintaan mereka melemah, mendorong mereka untuk mengurangi pendanaan dari pasar surat utang. Sehingga, kebutuhan untuk menerbitkan obligasi saat ini tidak tinggi, lantaran pertumbuhan bisnis tidak setinggi seperti yang diperkirakan di awal tahun. 

Di industri perbankan misalnya, Nasrudin menilai, meski mulai menghadapi likuiditas yang lebih ketat, mereka masih tetap tidak terburu-buru dalam mencari alternatif sumber pendanaan. Perbankan masih memilih mengandalkan dana pihak ketiga, ketimbang mencari pendanaan eksternal, seperti menerbitkan obligasi karena alasan yang lebih murah.

"Kalau menurut saya, tren penerbitan ke depan akan sangat tergantung pada seberapa cepat suku bunga kembali ke level normal rendah, yang mana akan mempengaruhi seberapa cepat biaya dana turun," tuturnya.

Nasrudin juga menilai pasokan surat utang pemerintah akan cenderung lebih besar ke depannya. Sejauh ini, pemerintah cenderung konservatif dalam menerbitkan surat utang dan menyatakan akan lebih banyak memanfaatkan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) untuk pendanaan pembangunan yang akan mereka lakukan. Dari target penerbitan sebesar sebesar Rp 666,4 triliun di tahun 2024, realisasinya baru sebesar Rp 253,00 triliun hingga Juli 2024.

Adapun di tahun depan, PEFINDO melihat penerbitan surat utang oleh pemerintah masih akan besar mengingat nominal jatuh tempo yang besar, mencapai Rp 722,50 triliun. Pemerintah juga mengasumsikan yield 10 tahun sebesar 7,1%.

"Jadi, di satu sisi, suku bunga diperkirakan akan mulai dipangkas ke depan seiring pelonggaran moneter oleh Bank Indonesia. Di sisi lain, pasokan baru surat utang menjadi faktor negatif karena tingginya pasokan berdampak pada yield," tambah Nasrudin.

Diperkirakan yield obligasi korporasi mungkin akan menjadi lebih sulit untuk turun sehingga berdampak pada biaya penerbitan. Namun efek dari kekakuan tersebut terhadap penerbitan surat utang akan sangat tergantung pada prospek permintaan.

Hingga Juli 2024, PEFINDO memperoleh mandat pemeringkatan sebesar Rp 14,62 triliun dari sektor keuangan. Nasrudin berharap semuanya bisa terealisasi hingga akhir tahun ini, jika terealisasi maka jika maka kemungkinan penerbitan dari sektor keuangan akan mencapai Rp 57,45 triliun.

Baca Juga: Proyeksi Yield SBN Turun, Didukung Aliran Modal Asing dan Sinyal Penurunan Suku Bunga

PT Wahana Ottomitra Multiartha Tbk (WOM Finance) menyampaikan bahwa perusahaan kemungkinan akan menghadapi tantangan jika bersaing dengan pemerintah dalam hal pendanaan, terutama jika pemerintah memang akan mengeluarkan banyak obligasi dengan bunga yang tinggi.

Direktur Keuangan WOM Finance, Cincin Lisa mengatakan pihaknya akan menjalankan beberapa strategi untuk mengantisipasi hal tersebut, di antaranya adalah diversifikasi sumber pendanaan, efisiensi operasional, dan terus melakukan manajemen risiko yang baik hingga melakukan kolaborasi strategis untuk menjajaki kemitraan dengan institusi lain untuk meningkatkan pendanaan.

"Kebijakan perusahaan mengenai penerbitan obligasi di tahun depan bergantung pada berbagai faktor, termasuk kondisi pasar, kebutuhan pendanaan dan strategi perusahaan. Jika nantinya kami menilai bahwa penerbitan obligasi masih merupakan opsi yang menguntungkan dan dapat mengimbangi tantangan dari obligasi pemerintah, kami mungkin tetap mempertimbangkannya," ujar Cincin kepada Kontan, Senin (26/8).

Ke depannya, pinjaman dari bank tetap menjadi opsi utama WOM Finance. Cincin bilang, dapat bernegosiasi mengenai suku bunga dan syarat pinjaman untuk mendapatkan kondisi yang lebih menguntungkan. Selain itu, WOM Finance akan mengoptimalkan arus kas internal dan meningkatkan efisiensi operasional untuk mengurangi kebutuhan pendanaan eksternal.

Kemudian Presiden Direktur PT CIMB Niaga Auto Finance (CNAF) Ristiawan mengatakan bahwa pendanaan perusahaan saat ini masih mendapatkan dukungan besar dari induk usaha dalam pembiayaan bersama (Joint Financing) maupun Bilateral Loan.  

"Selain itu kami juga melakukan kerjasama dengan perbankan lain selain induk usaha dalam bentuk pinjaman jangka pendek dan jangka panjang dengan bunga yang kompetitif," kata Ristiawan kepada Kontan, Senin (26/8).

Selain dari Bilateral Loan dalam mendapatkan bunga yang kompetitif, CNAF juga telah menerbitkan Sukuk Berkelanjutan I Wakalah Bi Al Istitsmar I pada semester I-2024. Selain itu, CNAF juga telah menerbitkan Sukuk Berkelanjutan I Wakalah Bi Al Ististmar sebesar 1 triliun yang telah cair pada bulan Juli 2024 dan direncanakan pada semester-II CNAF akan menerbitkan kembali Sukuk berkelanjutan tahap II.

"Dengan CNAf telah memiliki Penawaran Umum Berkelanjutan (PUB) ini maka CNAF dapat mengeluarkan sukuk pada saat kondisi market yang mendukung," ujarnya.

Ke depannya, CNAF terus melakukan diversifikasi pendanaan selain dari Sukuk dengan melakukan kerja sama dengan perusahaan-perusahaan Non Bank, Lembaga dan badan usaha lainnya.

Mengenai hal ini, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno mengatakan, ke depannya perusahaan multifinance tidak kesulitan untuk mencari sumber pendanaan.

"Mungkin perusahaan kecil yang kesulitan, kalau perusahaan pembiayaan yang sudah sering menerbitkan obligasi tentu tidak akan sulit," kata Suwandi kepada Kontan, Minggu (25/8).

Suwandi menjelaskan, tidak semua perusahaan multifinance bisa masuk pasar obligasi, mengingat perlu memenuhi persyaratan yang tidak mudah. Menurutnya, jika terdapat perusahaan yang sulit untuk menerbitkan obligasi, pendanaan dari bank masih bisa jadi salah satu opsi terbaik.

"Perbankan juga butuh kerjasama dengan kita. Jadi arah ke depannya yang mau ke bank silahkan obligasi juga begitu. Masing-masing punya arahnya sendiri, tergantung situasi dan kondisi," tandasnya.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Putri Werdiningsih