JAKARTA. Kementerian Keuangan meminta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk segera mengajukan usulan revisi Peraturan Pemerintah (PP) No.9 tahun 2012 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). PP tersebut berlaku di ESDM dan di dalamnya memuat tentang royalti batubara untuk perusahaan pemegang Izin Usaha Penambangan (IUP). Pasalnya, rencana kenaikan royalti batubara untuk pemegang IUP baru bisa direalisasikan jika ada usulan perubahan PP dari Kementerian ESDM. Pelaksana tugas (Plt) Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Bambang Brodjonegoro menuturkan pemerintah menargetkan revisi beleid tentang tarif dan jenis PNBP di Kementerian ESDM bisa berlaku pada tahun ini. "(revisi) Peraturan Pemerintah nya harus keluar pada tahun ini," jelasnya Senin malam (3/6). Seperti diketahui, pemerintah akan merevisi besaran royalti batubara untuk pemegang IUP dari 3% - 7% menjadi maksimal 10%. Angka ini memang masih lebih rendah dari besaran royalti bagi pengusaha pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang besarnya mencapai 13,5%. Menurut Bambang, ada perbedan kualitas batubara yang dihasilkan pengusaha PKP2B dengan pengusaha pemegang IUP. Makanya, untuk sementara, usulan kenaikan besaran royalti sebesar 10% menjadi batas atas. Nah, "Kalau asumsinya (tarif royalti) naik menjadi 10%, maksimal potensi penerimaan yang didapat sekitar Rp 4 triliun dalam satu tahun," ujarnya. Namun, Bambang mengakui untuk tahun ini kenaikan royalti batubara IUP belum akan berdampak besar. Pasalnya, kenaiakn royalti batubara untuk IUP baru akan dilakukan jika PP baru hasil revisi resmi berlaku. Direktur Penerimaan Bukan Pajak (PNBP) Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani menambahkan untuk tahun ini dampak kenaikan royalti batubara untuk IUP belum akan terasa pada penerimaan negara. "Kalaupun bisa masuk (penerimaan dengan tarif baru) hanya sedikit sekali. Dampak kenaikan royalti baru akan optimal terasa di tahun 2014," katanya Selasa (4/5). Menurutnya, kenaikan tarif royalti batubara untuk IUP tergantung pada kecepatan dari revisi PP. Sehingga, Askolani bilang hal ini akan artinya sangat tergantung pada usulan dari ESDM. Makanya, Askolani bilang pihaknya telah meminta Kementerian ESDM untuk segera mengajukan usulan revisi PP untuk dibahas di Kementerian Keuangan. BK batubara belum bisa diterapkan Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Maruarar Sirait mengusulkan agar pemerintah memberlakukan bea keluar (BK) untuk batubara seperti halnya dikenakan pada komoditas mineral lain di luar batubara. Namun, Bambang bilang untuk saat ini masih sulit mengenakan BK untuk batubara. Sehingga, menaikkan royalti batubara bagi IUP menjadi pilihan yang akan diambil pemerintah untuk tahun ini. Sebenarnya, potensi penerimaan BK dari batubara lebih besar ketimbang potensi yang dihasilkan dari rencana kenaikan royaltinya. Dalam hitungan Bambang, jika batubara (untuk IUP) dikenakan BK sebesar 20% maka potensi penerimaan yang bisa didapat sekitar Rp 40 triliun per tahun. Menurut Bambang, saat ini belum cukup alasan bagi pemerintah untuk mengenakan BK bagi batubara. Sebab, selama ini latar belakang pemerintah mengenakan BK bagi komoditas mineral adalah agar komoditas tersebut bisa diproses lebih lanjut sehingga tercipta hilirisasi. Di luar itu, kebutuhan akan komoditas tersebut di dalam negeri cukup besar. Nah, untuk komoditas batubara, Bambang bilang saat ini belum ada teknologi yang bisa menghasilkan produk turunan dari batubara. Selain itu, kebutuhan domestik masih bisa dipenuhi. "Kalau mau dikenakan, paling tepat waktunya tahun 2014 ketika ekspor minerba dilarang," katanya.
Penerimaan lebih besar jika royalti naik 10%
JAKARTA. Kementerian Keuangan meminta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk segera mengajukan usulan revisi Peraturan Pemerintah (PP) No.9 tahun 2012 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). PP tersebut berlaku di ESDM dan di dalamnya memuat tentang royalti batubara untuk perusahaan pemegang Izin Usaha Penambangan (IUP). Pasalnya, rencana kenaikan royalti batubara untuk pemegang IUP baru bisa direalisasikan jika ada usulan perubahan PP dari Kementerian ESDM. Pelaksana tugas (Plt) Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Bambang Brodjonegoro menuturkan pemerintah menargetkan revisi beleid tentang tarif dan jenis PNBP di Kementerian ESDM bisa berlaku pada tahun ini. "(revisi) Peraturan Pemerintah nya harus keluar pada tahun ini," jelasnya Senin malam (3/6). Seperti diketahui, pemerintah akan merevisi besaran royalti batubara untuk pemegang IUP dari 3% - 7% menjadi maksimal 10%. Angka ini memang masih lebih rendah dari besaran royalti bagi pengusaha pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang besarnya mencapai 13,5%. Menurut Bambang, ada perbedan kualitas batubara yang dihasilkan pengusaha PKP2B dengan pengusaha pemegang IUP. Makanya, untuk sementara, usulan kenaikan besaran royalti sebesar 10% menjadi batas atas. Nah, "Kalau asumsinya (tarif royalti) naik menjadi 10%, maksimal potensi penerimaan yang didapat sekitar Rp 4 triliun dalam satu tahun," ujarnya. Namun, Bambang mengakui untuk tahun ini kenaikan royalti batubara IUP belum akan berdampak besar. Pasalnya, kenaiakn royalti batubara untuk IUP baru akan dilakukan jika PP baru hasil revisi resmi berlaku. Direktur Penerimaan Bukan Pajak (PNBP) Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani menambahkan untuk tahun ini dampak kenaikan royalti batubara untuk IUP belum akan terasa pada penerimaan negara. "Kalaupun bisa masuk (penerimaan dengan tarif baru) hanya sedikit sekali. Dampak kenaikan royalti baru akan optimal terasa di tahun 2014," katanya Selasa (4/5). Menurutnya, kenaikan tarif royalti batubara untuk IUP tergantung pada kecepatan dari revisi PP. Sehingga, Askolani bilang hal ini akan artinya sangat tergantung pada usulan dari ESDM. Makanya, Askolani bilang pihaknya telah meminta Kementerian ESDM untuk segera mengajukan usulan revisi PP untuk dibahas di Kementerian Keuangan. BK batubara belum bisa diterapkan Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Maruarar Sirait mengusulkan agar pemerintah memberlakukan bea keluar (BK) untuk batubara seperti halnya dikenakan pada komoditas mineral lain di luar batubara. Namun, Bambang bilang untuk saat ini masih sulit mengenakan BK untuk batubara. Sehingga, menaikkan royalti batubara bagi IUP menjadi pilihan yang akan diambil pemerintah untuk tahun ini. Sebenarnya, potensi penerimaan BK dari batubara lebih besar ketimbang potensi yang dihasilkan dari rencana kenaikan royaltinya. Dalam hitungan Bambang, jika batubara (untuk IUP) dikenakan BK sebesar 20% maka potensi penerimaan yang bisa didapat sekitar Rp 40 triliun per tahun. Menurut Bambang, saat ini belum cukup alasan bagi pemerintah untuk mengenakan BK bagi batubara. Sebab, selama ini latar belakang pemerintah mengenakan BK bagi komoditas mineral adalah agar komoditas tersebut bisa diproses lebih lanjut sehingga tercipta hilirisasi. Di luar itu, kebutuhan akan komoditas tersebut di dalam negeri cukup besar. Nah, untuk komoditas batubara, Bambang bilang saat ini belum ada teknologi yang bisa menghasilkan produk turunan dari batubara. Selain itu, kebutuhan domestik masih bisa dipenuhi. "Kalau mau dikenakan, paling tepat waktunya tahun 2014 ketika ekspor minerba dilarang," katanya.