KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Peningkatan penerimaan negara menjadi salah satu persyaratan yang mesti dipenuhi dalam perpanjangan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang berubah status menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Minerba Irwandy Arief mengungkapkan, ada evaluasi ketat yang akan dilakukan pemerintah untuk menerbitkan perubahan status PKP2B menjadi IUPK Operasi Produksi (OP) sebagai perpanjangan kontrak. Evaluasi tersebut termasuk mempertimbangkan rekam jejak kinerja perusahaan serta peningkatan penerimaan negara. "Itu menjadi syarat utama, menjadi salah satu yang dipersyaratkan oleh pemerintah," tutur Irwandy dalam webinar yang digelar Selasa (21/7).
Baca Juga: Rencana pemangkasan produksi belum tentu langsung berdampak ke kondisi pasar batubara Dia memang belum memaparkan dengan detail progres maupun substansi terkait aturan perpajakan untuk pertambangan batubara itu. Poin yang paling menonjol, sebut Irwandy, ialah mengenai kenaikan tarif royalti dari PKP2B eksisting saat telah diperpanjang izinnya dan berubah status menjadi IUPK OP. Jika pada PKP2B saat ini ditetapkan sebesar 13,5% setelah menjadi IUPK OP pemerintah mengusulkan agar naik menjadi 15%. "Ini adalah salah satu bentuk yang dipersyaratkan oleh pemerintah. Salah satu yang paling menonjol bahwa akan naik royalti dari 13,5% menjadi 15%," kata Irwandy. Merujuk materi paparan yang disampaikan Irwandy, ada simulasi penerimaan negara saat PKP2B diperpanjang menjadi IUPK dibandingkan dengan PKP2B saat ini. Begitu juga semulasi jika PKP2B tidak diperpanjang, dengan IUPK OP yang berasal dari Wilayah Pencadangan Negara (WPN).
Pertama, dari PKP2B generasi pertama eksisting, penerimaan negara yang diperoleh saat ini terdiri dari (1) dana hasil produksi batubara (DHPB)/royalti sebesar 13,5%, (2) Lumpsum Payment, (3) PBBKB 7,5% (reimburse), (3) sales tax maksimal 5%, dan (4) PPh badan 45%. Sedangkan untuk PKP2B selain generasi pertama (generasi 1+) hanya dikenakan DHPB 13,5%.
Kedua, jika izin berlanjut atau menjadi IUPK OP sebagai perpanjangan dari PKP2B, maka untuk generasi pertama komponen penerimaan negaranya menjadi: (1) royalti+PHT+BMN sebesar 15% (usulan pemerintah), (2) PBB Prevaling, (3) Pajak daerah prevailing, (4) PPN Prevailing sebesar 10%, (5) PPh Badan Prev. sebesar 25%, dan (6) EAT sebesar 10% dengan porsi 6% untuk daerah dan 4% untuk pusat. Sedangkan untuk PKP2B generasi 1+ berubah menjadi (1) royalti+PHT+BMN sebesar 15% (usulan pemerintah) dan (2) EAT sebesar 10% dengan porsi 6% untuk daerah dan 4% untuk pusat.
Ketiga, penerimaan negara dari IUPK OP yang berasal dari WPN atau ketika PKP2B tidak diperpanjang. Maka komponen penerimaan negara dari PKP2B generasi I ialah: (1) royalti 3%, 5%, atau 7%, (2) PBB Prevaling, (3) Pajak daerah prevailing, (4) PPN Prevailing sebesar 10%, (5) PPh badan prev. 25%, dan (6) EAT sebesar 10% dengan porsi 6% untuk daerah dan 4% untuk pusat. Sedangkan untuk penerimaan negara dari PKP2B generasi 1+, ialah: (1) royalti 3%, 5%, atau 7% dan (2) EAT sebesar 10% dengan porsi 6% untuk daerah dan 4% untuk pusat. "Di sini kalau menjadi WPN, tentunya royalti turun seperti IUP (Izin Usaha Pertambangan) yang sekarang," kata Irwandy.
Sebagai gambaran, dari PKP2B eksisting saat ini dengan DHPB sebesar 13,5% maka proporsi perbandingan penerimaan negara sebesar 67,84% dan perusahaan 32,16% , dengan total penerimaan negara US$ 2,63 miliar. Jika PKP2B diperpanjang, DHPB diusulkan naik dari 13,5% menjadi 15%. Jika tidak, berlaku ketentuan sesuai peraturan perundang-undangan yakni royalti 3%, 5%, dan 7%. Proporsi penerimaan negara dibanding perusahaan meningkat dari kondisi eksisting menjadi 79,01% : 20,99% saat PKP2B diperpanjang. Jika tidak, maka akan turun dari kondisi eksisting menjadi 57,57% untuk penerimaan negara : 42,43% untuk perusahaan.
Baca Juga: Jika ada pemotongan produksi batubara, target setoran PNBP minerba sulit tercapai Editor: Khomarul Hidayat