JAKARTA. Proses penetapan anggota komisi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sampai saat ini masih berjalan alot. Meskipun DPR sudah menggelar beberapa kali Sidang Paripurna dengan agenda Penetapan Anggota Komisi DPR, namun hingga saat ini mereka belum juga berhasil menetapkan anggota komisi di DPR. Sampai saat ini masih ada empat fraksi di DPR; Fraksi PDIP, Fraksi Partai Hanura, Fraksi Partai Nasdem, dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa yang belum menyerahkan susunan daftar anggota yang akan ditempatkan di komisi. Bukan hanya itu saja, kegagalan penetapan anggota komisi juga disebabkan oleh kericuhan yang terjadi dalam Rapat Paripurna yang dilaksanakan Selasa (28/10). Sejumlah anggota DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) marah dan membanting dua meja anggota DPR di depan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah, Fadli Zon, dan Agus Hermanto. Kemarahan tersebut terjadi setelah Agus Hermanto, Wakil Ketua DPR yang memimpin Rapat Paripurna tiba-tiba mengetok palu menutup Rapat Paripurna dan tetap memasukkan Fraksi PPP sebagai salah satu fraksi yang sudah menyerahkan anggotanya untuk ditetapkan menjadi anggota komisi di DPR.
Anggota Fraksi PPP Reni Marlinawati mengatakan, daftar anggota komisi yang telah diserahkan ke Paripurna DPR dan kemudian ditetapkan oleh Pimpinan Sidang Paripurna tidak sah. Sebab daftar usulan itu datang dari versi Suryadharma Ali, mantan Ketua Umum PPP. Sementara itu saat ini PPP sudah diketuai oleh M. Romahurmuzy. "Putusan Kementerian Hukum dan HAM tentang eksistensi PPP soal ketua umum baru sudah ada, maka itu kami minta penetapan dicabut dan serahkan kembali daftar itu ke PPP untuk dirumuskan kembali sesuai PPP yang sah menurut Kementerian Hukum dan HAM," kata Reni dalan Rapat Paripurna Selasa (28/10). Hendrawan Supratikno, anggota DPR dari Fraksi PDIP, menilai keputusan Agus sebagai pimpinan Rapat Paripurna dalam mengesahkan daftar nama anggota Fraksi PPP yang akan ditempatkan dalam komisi dan alat kelengkapan dewan sebagai sebuah keputusan terburu-buru dan ceroboh. Dia menilai, kecerobohan tersebut disebabkan oleh keinginan yang tidak sehat dari pimpinan DPR untuk menggolkan tujuan mereka, salah satunya menguasai pucuk pimpinan komisi dan alat kelengkapan dewan.