Penetapan tarif interkoneksi terbaru menuai kritik



JAKARTA. Perhitungan tarif interkoneksi terbaru yang diumumkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pada 2 Agustus lalu menuai kritik karena dinilai tidak transparan. Hal itu dianggap melanggar Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) Nomor 8 Tahun 2006 tentang Interkoneksi yang seharusnya dilakukan secara transparan dan berdasarkan formula perhitungan.

Direktur Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi (LPPMI) Kamilov Sagala mengatakan, dalam melakukan penghitungan tarif interkoneksi yang baru, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) dan Kemenkominfo tidak transparan dan tidak berdasarkan formula perhitungan.

“Jadi, revisi perhitungan tarif interkoneksi yang diumumkan itu menabrak aturan yang dibuatnya sendiri,” ujarnya, Senin (8/8).


Seperti diketahui, Kemenkominfo telah menyelesaikan perhitungan biaya interkoneksi tahun 2016 di mana menghasilkan penurunan secara rata-rata untuk 18 skenario panggilan dari layanan seluler dan telepon tetap sekitar 26%. Sebelumnya, tarif interkoneksi untuk panggilan lokal seluler sekitar Rp 250. Adanya perhitungan baru maka per 1 September 2016 menjadi Rp 204 per menit. Alhasil perhitungan tarif interkoneksi terbaru itu memaksa operator menjual di bawah biaya jaringan. Dalam perhitungan terbaru ini, kebijakan Kominfo juga dianggap tidak sejalan dengan dokumen konsultasi publik untuk tarif interkoneksi pada 2015. Di mana pada waktu itu dibahas adanya regionalisasi tarif interkoneksi. Wacana kebijakan tersebut dianggap sebagai angin segar oleh operator karena hampir tujuh tahun, biaya interkoneksi dihitung secara nasional.  Regionalisasi itu bertujuan untuk mengakomodir kekuatan sebaran jaringan yang berbeda antar operator di setiap daerah ke dalam perhitungan biaya interkoneksi nasional. 

Menurutnya jika ada operator yang dirugikan atas kebijakan tersebut bisa mengajukan gugatan di peradilan. Hal itu sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 52 tahun 2000 tentang penyelenggaraan telekomunikasi pada pasal  22 ayat 3 yang memberi ruang upaya hukum. “Sekarang kita tunggu ada yang mau bawa ke pengadilan atau tidak sebagai pembelajaran pemerintah dalam mengambil sebuah kebijakan,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Hendra Gunawan