JAKARTA. Pengacara mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, Handika Honggo Wongso, menilai putusan Mahkamah Agung terhadap kliennya sangat berat. Handika menilai majelis hakim telah keliru dengan memperberat hukuman Anas hingga dua kali lipatnya. "Itu vonis (MA) gila! Sungguh sangat berat sekali," ujar Handika melalui pesan singkat, Senin (8/6). Handika mengatakan, majelis hakim MA cenderung mengedepankan semangat untuk menghukum dan mengabaikan unsur keadilan. Menurut dia, dalam sidang kasasi semestinya diperiksa soal penerapan hukum.
"Jika sampai majelis hakim kembali mempertimbangkan fakta untuk dasar menghukum, ya jelas keliru," kata Handika. Oleh karena itu, Handika mengaku akan memperjuangkan upaya hukum untuk melawan putusan MA terhadap kliennya "Tentu ke depan kami akan melakukan upaya hukum. Tentu harus dilawan secara total," kata Handika. Mahkamah Agung memperberat hukuman terhadap Anas Urbaningrum setelah menolak kasasi yang diajukannya. Anas yang semula dihukum tujuh tahun penjara kini harus mendekam di rumah tahanan selama 14 tahun. "Anas Urbaningrum bukan hanya menemui kegagalan, tetapi justru telah menjadi bumerang baginya, ketika Majelis Hakim Agung di MA melipatgandakan hukuman yang harus dipikulnya menjadi 14 tahun pidana penjara," ujar juru bicara MA, Suhadi. Selain itu, Anas juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp 5 miliar subsider satu tahun dan empat bulan kurungan. Suhadi mengatakan, Anas juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 57.592.330.580 kepada negara. Majelis hakim berkeyakinan bahwa Anas telah melakukan perbuatan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 huruf a UU TPPK jo Pasal 64 KUHP, pasal 3 UU No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, serta Pasal 3 ayat (1) huruf c UU No. 15 Tahun 2002 jo UU No. 25 Tahun 2003.
Dalam pertimbangannya, MA menolak keberatan Anas yang menyatakan bahwa tindak pidana asal dalam tindak pidana pencucian uang (TPPU) harus dibuktikan terlebih dahulu. Majelis Agung mengacu kepada ketentuan Pasal 69 UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU yang menegaskan bahwa tindak pidana asal tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu. Majelis pun menilai pertimbangan pengadilan tingkat pertama dan banding yang menyatakan bahwa hak Anas untuk dipilih dalam jabatan publik tidak perlu dicabut adalah keliru. Sebaliknya, MA justru berpendapat bahwa publik atau masyarakat justru harus dilindungi dari fakta,informasi,persepsi yang salah dari seorang calon pemimpin. "Kemungkinan bahwa publik salah pilih kembali haruslah dicegah dengan mencabut hak pilih seseorang yang nyata-nyata telah mengkhianati amanat yang pernah diberikan publik kepadanya," kata Suhadi. (Ambaranie Nadia Kemala Movanita) Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sanny Cicilia