JAKARTA. Tim kuasa hukum Budi Gunawan menghadirkan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Romly Atmasasmita, pada sidang praperadilan, Rabu (11/2). Romly dicecar pertanyaan seputar kewenangan pimpinan KPK yang jumlahnya tidak sama seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Seusai disumpah dalam persidangan, Romly memperkenalkan dirinya sebagai eks Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Saat itu, Romly menjadi salah satu penyusun Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Undang-undang tersebut menjadi landasan seluruh aktivitas KPK hingga saat ini. Salah seorang kuasa hukum BG, Maqdir Ismail bertanya, mengapa dalam satu pasal di UU itu mengatur bahwa pimpinan KPK terdiri dari lima orang dan kebijakan institusi KPK harus berdasarkan keputusan kolektif kolegial dari lima pimpinan KPK tersebut.
"Kebijakan KPK harus melalui pertimbangan lima pimpinan KPK supaya tidak terjadi kongkalikong dalam penetapan suatu kebijakan. Bagaimanapun, pertimbangan oleh dua atau tiga orang, tidak lebih baik dari pertimbangan oleh lima orang. Itulah yang menjadi pertimbangan kami dahulu," jawab Romly. Atas pertimbangan bahwa tindak pidana korupsi adalah kejahatan besar, maka penanganannya mesti dengan pertimbangan yang besar pula. Romly mengatakan bahwa KPK tidak mengenal adanya surat perintah penghentian penyidikan atau SP3. Menurut para arsitek UU waktu itu, lanjut Romly, SP3 berpotensi adanya penyalahgunaan wewenang oleh pimpinan KPK. Maqdir juga bertanya apakah keputusan pimpinan KPK saat berjumlah kurang dari lima merupakan keputusan yang sah. Romly menjawab tidak. Artinya, jika pimpinan KPK kurang dari jumlah yang telah diatur dalam undang-undang, yakni lima orang, keputusan yang diambil pimpinan KPK tersebut tidak sah dan merupakan bentuk kesewenang-wenangan. "Sesuai asas kepastian hukum, itu sama sekali tidak dibenarkan," jawab Romly.