KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Aspek ekonomi sudah tidak lagi menjadi hambatan terbesar bagi pengembangan energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia. Harga listrik energi terbarukan, terutama pembangkit tenaga surya dan angin beserta biaya integrasinya ke jaringan kelistrikan diakui sudah dapat bersaing dengan PLTU yang mendapat insentif harga batubara US$ 70/ton. Namun, saat ini ada persoalan lain yang cukup menantang yakni proses pengembangan dan pengadaan proyek EBT. Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi Institute of Essential Services Reform (IESR) menyatakan PLN perlu didorong untuk mengubah proses pengadaan energi terbarukan menjadi lebih masif.
Baca Juga: Target Bauran EBT Turun, Kepercayaan Investor Bisa Ikut Berkurang “Selain itu pengadaan juga dilakukan berkala dan transparan. Pemerintah juga perlu mendukung dan membuka peluang bagi sektor industri, komersial, dan masyarakat untuk berkontribusi mengembangkan energi terbarukan,” ujarnya dalam keterangan resmi, Senin (29/1). Pemerintah sudah menetapkan Proyek Strategis Nasional (PSN) PTLS atap 3,6 GW pada 2025, namun regulasi PTLS atap, yakni Peraturan Menteri ESDM 26/2021 masih tertunda implementasinya. Dia menegaskan, hambatan ini harus diselesaikan. Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API), Riza Pasikki menyoroti, agar pemerintah menyederhanakan proses perizinan dan pengadaan yang saat ini masih cukup kompleks. Sebagai contoh, pemanfaatan panas bumi memerlukan beberapa perizinan kunci seperti Kesepakatan Kerjasama Pemanfaatan Ruang (KKPR) dan Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) yang memakan waktu yang panjang. “Selain itu, pengembang juga perlu memenuhi kewajiban Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) meskipun banyak komponen proyek yang tidak tersedia di pasar lokal,” ujarnya belum lama ini. Dalam hal lelang proyek EBT, ada masalah lain yang dihadapi pelaku usaha di sektor pembangkit hidro. Asosiasi Pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Air (APPLTA) mengungkapkan selama ini proyek pembangkit hidro kerap tidak mencapai nilai keekonomiannya karena PT PLN mematok tarif listrik sangat rendah ketika lelang. Ketua Asosiasi Pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Air (APPLTA), Zulfan Zahar menyatakan investasi pembangkit hidro mengalami hambatan karena sulitnya mendapatkan pembiayaan dari perbankan. Hal ini disebabkan tarif listrik PLTA yang terlalu rendah sehingga proyek menjadi tidak bankable. “Tarif listrik PLTA yang ada di dalam Perpres 112 Tahun 2022 sudah cukup baik, hanya permasalahannya PLN tidak menggunakan tarif Perpres sebagai acuan dalam tender dan negosiasi,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Kamis (7/12).
Baca Juga: Memahami Hubungan Antara Green Economy dan Greenflation Bahkan, dia mengungkapkan, PLN mematok tarif listrik di bawah Perpres 112/2022 dan dipukul rata untuk seluruh kapasitas pembangkit. Padahal di dalam Perpres 112/2022, tarif listrik PLTA dibedakan berdasarkan kapasitas pembangkitnya mulai dari skala kecil yakni sampai dengan 1 MW hingga di atas 100 MW. Semakin besar kapasitasnya, tarif listriknya semakin murah. “Tarif listrik yang rendah itu sudah diatur dalam Kajian Kelayakan Proyek yang dibuat PLN sehingga tarif tidak bisa bergerak dari nilai tersebut. Inilah sebabnya proyek jadi tidak menarik dan tidak bankable,” terangnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi