KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Berdasarkan Peraturan Presiden nomor 13 tahun 2018, setiap korporasi wajib menyampaikan laporan tentang
beneficial ownership (BO) atau pemilik manfaat sesungguhnya dari korporasi tersebut kepada Ditjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (KemenKumham). Aturan BO ini bisa merangkul perorangan yang tertera dalam akte pendirian atau pihak lain di luar dokumen legal formal legal tersebut. Pekan lalu Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemkeu) memperkuat basis data untuk menelusuri pemilik atau pengendali usaha yang dikenal dengan penerima manfaat korporasi alias BO. Ini ditandai dengan kerja sama pertukaran data di antara Kemenkumham, Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Pertanian, Kementerian Koperasi dan UKM, serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Direktorat Jenderal Pajak Hestu Yoga Saksama mengatakan, data-data tersebut akan mendorong transparansi tentang korporasi, terutama yang saat ini masih memanfaatkan
nominee dalam pendirian perusahaan. Berdasarkan Perpres tersebut, dan dengan
Memorandum of Understanding (MoU) dan Perjanjian Kerja Sama (PKS) yang sudah ditandatangani, maka DJP akan memperoleh akses atas informasi yang dikumpulkan di Ditjen AHU. Sehingga Itu akan membantu DJP untuk menggali potensi pajak dalam konteks transparansi tentang siapa sebenarnya pemilik aset berupa perusahaan atau pemegang saham sesungguhnya. Ataupun penerima manfaat sesungguhnya dari korporasi tersebut. “Juga dalam konteks penegakan hukum perpajakan, dapat diketahui siapa yang bertanggung jawab sesungguhnya dalam tindak pidana perpajakan,” kata Yoga kepada Kontan.co.id, Minggu (7/7). Pengamat pajak DDTC Bawono Kristiaji menilai, aturan BO akan sangat berguna bagi sektor pajak Indonesia. Kerangka pengungkapan BO di Indonesia berguna untuk mencegah tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme. Namun, informasi itu bisa dipergunakan pula untuk mencegah perilaku penghindaran atau
tax avoidance maupun penggelapan pajak atau
tax evasion. Dia bilang selama ini praktik ketidakpatuhan pajak terebut dapat dilakukan melalui pengaburan informasi kepemilikan manfaat baik dengan memutus rantai kepemilikan secara legal maupun dengan pendirian perusahaan cangkang atau nominee. Akibatnya otoritas pajak tidak bisa menelusuri informasi pemilik manfaat akhir dari korporasi dan upaya mengawasi kepatuhan pajak para pemilik manfaat tersebut. “Di saat yang bersamaan, saat ini informasi terkait
beneficial owner juga menjadi salah satu hal yang dipertukarkan antarotoritas pajak,” kata Bawono kepada Kontan.co.id. Bisa jadi ini kabar baik bagi transparansi sektor pajak. Dengan kata lain, baik secara nasional dan internasional, celah penyembunyian informasi pemilik manfaat korporasi semakin berkurang. Lebih lanjut Bawono mengatakan perlu digarisbawahi, konteks BO dalam Perpres 13 2018 tersebut mengacu pada individu pemilik manfaat akhir. Dengan informasi tersebut bermanfaat untuk mengungkap dan menjadi alat mengawasi kepatuhan orang pribadi terutama
high net worth individual (HNWI). Bawono menilai kepatuhan pajak orang pribadi di Indonesia masih rendah terutama bagi non-karyawan. Hal ini tercermin dari rendahnya kontribusi PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi yang kontribusinya kurang dari 1% penerimaan pajak selama 5 tahun terakhir. Di samping itu, belakangan sebuah perusahaan pertambangan diduga melakukan penggelapan pajak. Lembaga non-profit internasional Global Witness merilis laporan investigasi penggelapan pajak oleh PT Adaro Energy Tbk (
ADRO, anggota indeks
Kompas100 ini). Global Witness mengendus, sejak tahun 2009 hingga tahun 2017, ADRO membayar pajak US$ 125 juta lebih rendah kepada pemerintah Indonesia.
Emiten pertambangan itu disebut memindahkan sejumlah pendapatan serta labanya dari aktivitas penambangan batubara. “Modusnya dengan memindahkan pendapatan tambangnya ke jaringan perusahaan di luar negeri,” kata Stuart McWilliam, Campaign Leader Global Witness dalam keterangan resminya, Kamis (7/4). Di sisi lain baik Yoga maupun Bawono belum bisa menerka potensi pajak yang diterima lewat BO. Alasannya, sampai saat ini dari DJP belum mengeluarkan prediksi perhitungannya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto