KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kesulitan likuiditas yang saat ini sedang dialami Asuransi Jiwasraya, menghadapkan perusahaan asuransi pelat merah ini pada alternatif pilihan yang sulit. Pengamat asuransi sekaligus Ketua Sekolah Tinggi Manajemen Risiko & Asuransi (STIMRA) Jakarta Hotbonar Sinaga mengatakan jika benar rasio solvabilitas atau
Risk Based Capital (RBC) perusahaan ini per Oktober mengalami minus 70%, dapat dikatakan saat ini perusahaan dalam keadaan keuangan yang tidak sehat. “RBC ini perhitungan sederhananya yakni
admitted asset dikurangi liabilitas, nilai ini tidak boleh kurang dari 120% dengan kata lain ini adalah batas minimum perusahaan asuransi dikatakan sehat,” katanya kepada Kontan.co.id, Kamis (25/10).
Menurutnya, karena perhitungan RBC ini merupakan perhitungan tahunan, perusahaan masih memiliki kesempatan untuk melakukan perbaikan-perbaikan yang terkait dengan perhitungan RBC. Beberapa cara yang dapat dilakukan menurut Hotbonar diantaranya yakni;
Pertama, Jiwasraya meminta pinjaman sub ordinasi dari pemegang saham yang diajukan kepada DPR melalui Kementerian BUMN. Dengan syarat, jika pinjaman dikenakan bunga maka bunga yang dikenakan harus lebih rendah daripada tingkat bunga pasar sekaligus ada jadwal pengembalian. “Juga bisa diberikan catatan tambahan bahwa pinjaman sub ordinasi kepada pemegang saham akan dikembalikan jika perusahaan telah memenuhi standar RBC minimum dari otoritas yakni 120%,” katanya.
Kedua, meminta tambahan setoran dari pemegang saham atau istilah lainnya penyertaan modal negara. “Dua alternatif pertama ini memerlukan waktu yang tidak sebentar. Ada alur-alur yang mesti dilalui, dari pihak perusahaan harus berdiskusi dengan Kementerian BUMN. Baru kemudian Kementerian BUMN bisa mengajukan ke DPR,” jelasnya. Hotbonar memperhitungkan, jika Jiwasraya memilih alternatif tersebut akan membutuhkan waktu paling cepat satu tahun untuk mendapatkan aliran dana.
Ketiga, mengajukan pinjaman kepada Dana Pihak Ketiga (DPK) dengan konsekuensi bunga yang tinggi. “Untuk perusahaan asuransi, meminta pinjaman bukanlah sesuatu yang lazim. Karena sebagai lembaga jasa keuangan, perusahaan asuransi semestinya berada dalam posisi untuk memberikan pinjaman,” terangnya.
Keempat, perusahaan menjual aset. Ini dapat dilakukan oleh perusahaan dengan kepemilikan aset properti dalam jumlah besar. Dengan catatan mendapat persetujuan dari para pemegang saham untuk menjual aset agar mendapatkan setoran kas. Namun, konsekuensinya adalah perusahaan harus membayarkan capital gain atau selisih antara nilai aset dengan harga jual aset yang dihitung sebagai pajak penghasilan. Meski sebenarnya perusahaan dapat melakukan penjualan atas portofolio investasinya, namun Hotbonar tidak menyarankannya. Sebab, jika melihat kondisi pasar modal saat ini yang trennya menurun, peluang merugi justru akan dialami perusahaan. Untuk perusahaan BUMN, upaya
cut loss yang menyebabkan kerugian akan dinilai sebagai pelanggaran atas undang-undang keuangan negara. Dengan kata lain menyebabkan kerugian negara. “Saat ini alternatif terbaik untuk Jiwasraya serba terbatas, karena dihadapkan pada keadaan yang sulit,” katanya. Alternatif yang bisa dilakukan untuk mengatasi produk yang mengalami
mismatch, Hotbonar menyarankan untuk perusahaan melakukan penarikan produk.
“Perusahaan bisa melakukan penarikan produk yang menyebabkan
mismatch. Selain itu bisa dilakukan renegosiasi kepada para pemegang polis melalui bank-bank yang bekerjasama lewat jalur
bancassurance. Dengan kata lain melonggarkan beberapa persyaratan yang memudahkan perusahaan asuransi untuk membayar kewajibannya, bukan melakukan pembatalan polis,” jelasnya. Peninjauan kembali kemudian dirasa perlu untuk produk perusahaan yang menyebabkan
mismatch. Sebagai catatan, jika perusahaan asuransi memberhentikan penjualan produk asuransinya, perusahaan harus mendapatkan persetujuan dari OJK. “OJK sebagai regulator kemudian akan mewajibkan bagi perusahaan asuransi yang mengalami kesulitan untuk merancang dan menjalankan
business plan paling tidak untuk satu tahun hingga tiga tahun mendatang,” pungkasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi