JAKARTA. Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina (Persero) Karen Agustiawan resmi memutuskan untuk melepaskan jabatannya. Kabar, Karen lebih memilih untuk mengajar di Universitas Harvard, Amerika. Meski terkesan ganjal alasan pengunduran diri tersebut. Yang pasti, ini kian memperkuat posisi kursi orang nomor satu Pertamina sangat panas. Perusahaan pelat merah ini sangat akrab dengan bongkar pasang manajemen. Nah, kini tinggal menanti pengganti jabatan Dirut yang tinggal Karen terhitung per 1 Oktober nanti. Lalu seperti apa sosok yang tepat memimpin Pertamina.
Selama ini, Pertamina banyak dinilai dekat dengan bisnis impor minyak dan gas (migas) yang dinilai berkaitan dengan mafia migas. Kepala Pengkajian Energi Universitas Universitas Indonesia (UI) Iwa Garniwa menilai, mafia impor seperti gas elpiji baunya terasa tapi tak kelihatan. Ia menduga mundurnya Karen karena ada unsur tekanan terutama dari dirinya yang sulit menghadapi situasi. “Oleh karena itu dirut baru Pertamina sebaiknya dari luar yang mempunyai komitmen kuat, konsisten dan paling utama berani merombak manajemen Pertamina,” tegas, Selasa (19/8). Ia menambahkan, memutus mafia migas bukan hal yang mudah, tapi hal itu harus dimulai Pertamina dengan menurunkan impor minyak minyak melalui kebijakan di antaranya menurunkan impor minyak dengan mengubah kebijakan mengubah struktur harga bbm, konversi minyak ke gas dan bahan bakar nabati (BBN), pembangunan dengan segera infrasruktur migas (penyaluran dan kilang). “Dengan begitu konsumsi minyak turun sehingga impor berkurang bahkan tidak sama sekali,” tegasnya. Memberantas mafia sangat tergantung pada pemerintah, sehingga dirut Pertamina baru tak bisa berjuang sendiri. Ia juga minta dirut Pertamina yang baru juga lebih mau berkoordinasi dengan kementerian terkait dan juga memiliki manajemen yang lebih baik. Sementara itu, Direktur Investigasi dan Advokasi Fitra Uchok Sky Khadafi menambahkan, selama ini proses penunjukan dirut Pertamina tak transparan. Sehingga, mafia migas bisa leluasa masuk menyorongkan banyak nama untuk mengamankan kepentingan mereka. Untuk itu, penunjukan dirut baru harus dibuat tim atau panitia dan menyusun kriteria yang jelas dari targetan bisnis Pertamina. Baru setelah itu dicari orang yang pas. Bisa juga dirut baru dari luar Pertamina. “Nantinya direktur utama kerja bukan berdasarkan merasa ada balas jasa pada mafia migas tapi kepada publik,” ujar Uchok. Sekarang ini, kata Uchok, publik tidak tahu pasti apa kesepatan antara presiden dan menteri BUMN dengan seseorang yang kemudian duduk sebagai direktur utama Pertamina. “Sekarang publik gak tahu harus ngawasi Pertamina dengan cara apa. Dengan kementerian BUMN, jaminan apa sih sehingga diangkat presiden,” ucapnya. Ia mengingatkan, minyak sudah dipenuhi kepentingan politik. Siapa yang menguasai impor minyak maka dipastikan akan berkuasa lama. Untuk menghindari itu, memang harus dibuat sistem agar dirut Pertamina nantinya bisa lepas dari kekuasaan dan tidak diintervensi untuk keuntungan politik. “Pertamina kan dibentuk untuk membantu masyarakat bukan menopang kekuasaan. Sementara mafia dengan kekuasaan itu simbiosis mutualis. Ini yang terus mempengaruhi Pertamina,” tandasnya. Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Golkar Bobby Rizaldi menilai, mundurnya Karen menjadi bukti pemerintah terutama Menteri BUMN Dahlan Iskan tak punya
road map dalam mengelola perusahaan pelat merah.
“Bila Menteri BUMN mengaminkan permintaan pengunduruan diri dirut BUMN terbesar di Indonesia dengan setoran deviden terbesar, berarti menjawab keraguan masyarakat selama ini bahwa, bahwa memang tidak ada program roadmap pengelolaan BUMN yang berkesinambungan,” tegas Bobby . Menurut dia, Karen harus mengamankan kuota BBM 46 juta kiloliter (kl) sampai akhir tahun ini, dan pertanggung jawaban kinerja 2014. “Pengunduran diri ini bisa jadi preseden buruk, dirut BUMN bisa semaunya saja mengundurkan diri dengan alasan pribadi, padahal kan sudah diangkat RUPS,” jelas dia. Kata dia, Pertamina sudah diberikan mandat APBN subsidi yang besar, sehingga tidak bisa begitu saja pimpinannya mundur. Apalagi mundur hanya karena jadi dosen di luar negeri. Sebaiknya bila memang mau mundur, RUPS berikut disampaikan, karena BUMN sebesar Pertamina, harus disiapkan penggantinya agar program tetap berkesinambungan. “Saya rasa kurang bijak bila pengunduran diri ini dilakukan pada masa SBY,” pungkasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto