Pengamat: Efektivitas RUU EBT perlu dilihat dahulu sebelum dibentuk badan khusus



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Wacana pembentukan badan khusus yang mengelola dan melaksanakan strategi pengembangan energi baru terbarukan (EBT) mencuat seiring pembahasan RUU EBT.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform Fabby Tumiwa berpendapat, pembentukan Badan Pelaksana Energi Terbarukan (BPET) harus dimulai dari pertanyaan seberapa mampu badan tersebut bisa menyelesaikan masalah dan tantangan dalam membangun pembangkit EBT berskala besar. Sebab, hal ini masih menjadi tantangan tersendiri bagi berbagai pihak di Indonesia.

Untuk mencapai target bauran EBT 23% di tahun 2025, dibutuhkan investasi sekitar US$ 5 miliar—US$ 7 miliar per tahun. Selepas tahun 2025, kebutuhan investasi sektor EBT akan lebih besar lagi demi mempercepat Indonesia memasuki masa transisi energi.


Dari situ, Fabby menilai lebih penting untuk saat ini perhatian seluruh stakeholder ditujukan pada efektivitas RUU EBT untuk menjawab tantangan dan hambatan pengembangan EBT secara masif. “Dari sana kemudian dilihat apakah dibutuhkan badan khusus untuk energi terbarukan,” imbuh dia, Kamis (4/2).

Baca Juga: Begini pandangan Kementerian ESDM terkait badan khusus pengelola EBT

Jika berdasarkan analisis memang diperlukan pembentukan BPEBT, maka harus jelas cakupannya adalah untuk pengembangan energi terbarukan, tidak termasuk mencakup energi baru seperti nuklir. Kemudian, badan ini harus memiliki kewenangan yang luas seperti perencanaan proyek, eksekusi, koordinasi, serta pelaksanaan tender pembangkit energi terbarukan.

“BPET ini juga perlu memperhatikan struktur industri dan tata kelola sektor energi, khususnya kelistrikan,” ujar Fabby.

Dia pun mencontohkan, di India terdapat badan bernama Solar Energy Corporation of India (SECI) yang berada di bawah Kementerian Energi Baru dan Terbarukan India. Status badan ini adalah perseroan terbatas yang berorientasi bisnis. SECI turut mengembangkan energi surya, angin, dan energi terbarukan lainnya di India.

Selain badan khusus, Fabby juga berpendapat, opsi alternatif lainnya adalah memperkuat peran Ditjen EBTKE dan menjadikan direktorat tersebut bersama dengan Ditjen Ketenagalistrikan sebagai regulator untuk sektor tenaga listrik.

Dalam hal ini, Ditjen EBTKE merencanakan proyek-proyek pembangkit energi terbarukan, mengidentifikasi ready to build project, serta melakukan lelang untuk proyek tersebut. Adapun Ditjen Gatrik mengintegrasikan rencana dari Ditjen EBTKE ke dalam RUPTL dan mengimplementasikan ke semua pengembang listrik, serta merencanakan infrastruktur dasar maupun pendukung untuk energi terbarukan.

Selanjutnya: AESI berharap badan khusus pengelola EBT segera dibentuk

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .