KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dalam sidang kabinet pada Senin (8/7) Presiden Joko Widodo sempat menegur dua menteri yakni Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno serta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan akibat defisit Neraca Dagang Indonesia (NDI) pada periode Januari-Mei 2019 yang mencapai US$ 2,14 miliar. Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi mengatakan, defisit tersebut lebih kecil dibanding defisit periode sama pada 2018, yang mencapai US$ 2,86 miliar.
Baca Juga: Presiden Jokowi keluhkan kinerja ekspor dan investasi yang melemah Lebih lanjut Fahmy menyebut, penurunan defisit itu disebabkan penurunan impor migas. "Penurunan total impor dalam NDI sebesar 9,2%, sedangkan penurunan impor Migas lebih besar mencapai 23,7%," jelas Fahmy dalam siaran persnya, Selasa (9/7). Adapun, penurunan impor migas menurut Fahmy, disumbang oleh turunnya impor seluruh komponen migas, yaitu minyak mentah US$ 1.766,5 juta (43,74%), hasil minyak US$ 1.043,1 juta (15,44%), dan gas US$ 24,2 juta (2,14%). Masih menurut Fahmy, defisit neraca migas juga merupakan konsekuensi dari upaya menjadikan komoditi migas sebagai pendorong pembangunan, bukan penghasil devisa untuk APBN.
Baca Juga: Jokowi kembali tegur menteri di sidang kabinet paripurna "Defisit neraca migas juga terjadi di beberapa negara maju, di antaranya: AS, Jepang, Korea Selatan, bahkan terjadi juga di beberapa negara penghasil minyak," ujar Fahmy. Fahmy menambahkan, pemerintah sejauh ini telah melakukan berbagai upaya untuk menekan defisit neraca migas. Langkah-langkah tersebut antara lain; Pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) dan penggunaan B-20 dan B-30 yang diklaim sudah dapat mengurangi impor solar dalam jumlah besar. Menurutnya, kerja sama antara Pertamina dengan Eni Italia, yang mengolah sawit menjadi bio solar dan avtur, tidak hanya akan menghasilkan energi bersih untuk menurunkan impor migas, tetapi juga dapat mendongkrak harga sawit yang sedang terpuruk. "Demikian juga dengan pembangunan kilang minyak Pertamina dan pembelian
crude oil dari kontraktor di dalam negeri dimaksudkan untuk mengurangi impor BBM dan minyak mentah yang diolah di kilang dalam negeri," kata Fahmy.
Baca Juga: Getol pemerintah terbitkan SBN di semester II, ini tanggapan ekonom Samuel Sekuritas Selain itu, Fahmy menilai upaya pengembangan mobil listrik juga bertujuan untuk mengurangi impor BBM. "Sayangnya, Peraturan Presiden (Perpres) yang mengatur Kendaraan Listrik hingga kini belum juga terbit. Padahal sudah banyak investor mobil listrik yang menyatakan komitmennya untuk membangun manufaktur mobil listrik di Indonesia, tetapi para investor itu masih menunggu kepastian Perpresnya," jelas Fahmy.
Fahmy menyebut proporsi impor migas pada NDI hanya sebesar 13% dari total impor. Sedangkan penyebab terbesar defisit NDI sebesar US$ 2,14 miliar adalah penurunan surplus non-migas sebesar 28,3 persen, sedangkan penurunan defisit migas mencapai 26,6%. "Hasil dari berbagai upaya untuk menurunkan impor Migas memang tidak bisa instan, masih butuh waktu untuk dapat menurunkan impor migas. Namun, data menunjukkan bahwa upaya tersebut sudah menampakkan hasil yang menunjukkan bahwa defisit neraca Migas semakin menurun dengan signifikan," tandas Fahmy.
Baca Juga: Ekonom: Inflow portofolio masih akan jadi penopang cadev ke depan Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .