JAKARTA. Operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu malam (2/10) terhadap Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mochtar, mendapat tanggapan berbagai kalangan. Tak terkecuali dari Pengamat Hukum Tata Negara, Margarito Kamis. Menurut Margarito, dugaan suap yang membelit Ketua MK adalah tindakan individual, bukan terstruktur secara kelembagaan. “Saya harus katakan, penangkapan Akil Mochtar karena tindakan orang per orang, bukan secara kelembagaan,” kata Margarito saat dihubungi Kontan, Kamis (3/10).
Margarito hanya menyayangkan, sebagai institusi peradilan hukum negara, MK memiliki kelemahan karena tidak memiliki lembaga pengawas kinerja para Hakim Konstitusi. Akibatnya, sembilan fungsionaris Hakim MK rentan terlibat tindak pidana korupsi dan penyuapan. Paling tidak, dalam hal menangani sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Pasalnya, berdasarkan pengamatan Margarito, MK sangat banyak menangani sejumlah perkara sengketa Pilkada dari tingkat Kepala kabupaten hingga Provinsi. Memang, berdasarkan catatan Kontan, di tahun ini MK banyak menangani sengketa Pilkada. Sebut saja, misalnya, Pilkada di Kabupaten Lebak Banten. Dalam putusannya, MK Membatalkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Lebak yang menetapkan pasangan Iti Octavia–Ade Sumardi sebagai bupati dan wakil bupati terpilih. MK pimpinan Akil Mochtar juga memutuskan pasangan Bambang Irianto-Sugeng Rismiyanto, tetap sebagai pemenang Pilkada Kota Madiun, Jawa Timur. Saat ini MK juga tengah mengatasi sengketa Pilkada Provinsi Jawa Timur. Politisi Partai Kebangkitan Bangsa, Khofifah Indar Parawansa menggugat kemenangan Soekarwo-Syaifullah Yusuf pada pemlihan Gubernur Jawa Timur. Celah penyuapan “Celah penyuapan di MK rentan dalam menangani sengketa Pilkada, karena menyangkut jabatan seseorang. Kalau perkara uji materi kecil kemungkinan, karena melibatkan institusi,” kata Margarito. Jika begitu, siapa dan bagaimana mengawasi kinerja para Hakim MK? Untuk hal ini, menurut Margarito, masyarakat harus mengawasi kinerja Hakim MK, terutama soal keputusannya. “Lihat, jika ada kasus dengan latar belakang serupa yang ditangani MK, tetapi keputusannya berbeda, patut dicurigai para Hakim MK terindikasi suap,” imbuh dia. Ke depan, Margarito menilai, proses pemilihan Hakim Konstitusi harus dilakukan secara cermat dan transparan. Ini, terutama dengan melihat rekam jejak para calon Hakim MK. Sesuai Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, dengan mengacu pada prinsip keseimbangan antar cabang kekuasaan negara, rekrutmen hakim konstitusi memang dilakukan oleh tiga lembaga negara, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Presiden dan Mahkamah Agung. MK mempunyai 9 Hakim Konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden. Hakim Konstitusi diajukan masing-masing 3 orang oleh Mahkamah Agung, 3 orang oleh DPR, dan 3 orang oleh Presiden. Setalah melalui mekanisme yang berlaku pada masing-masing lembaga, ketiga lebaga negara itu mengajukan tiga calon hakim konstitusi kepada Presiden untuk ditetapkan sebagai hakim konstitusi. Bikin PP tata cara rekrutmen Persoalannya, menurut Margarito, tidak ada yang menjamin bahwa tiga orang calon hakim konstitusi yang dipilih masing-masing lembaga tadi, memiliki rekam jejak yang kredibel. Oleh karena itu, ia meminta agar Pemerintah menerbitkan payung hukum berbentuk Peraturan Pemerintah (PP) tentang Tata Cara Rekrutmen Hakim Konstitusi. Dalam PP itu harus diatur soal pembentukan tim seleksi di tiga lembaga pemilih dan proses penyeleksian calon hakim dengan melihat track record yang bersangkutan. Adapun, lanjut Margarito, tim seleksi calon hakim harus melibatkan organisasi masyarakat, akademisi, ahli hukum, dan tokoh moral yang kredibel. Sejumlah tokoh yang disebut Margarito layak menjadi anggota tim seleksi, antara lain, Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, Prof. DR. H. Mohammad Laica Marzuki, dan Franz Magnis Suseno. Dengan begitu, menurut Margarito, para lembaga yang mengajukan nama calon Hakim MK, harus ikut bertanggung jawab secara moral atas keputusannya tersebut.
Catatan saja, Akil Mochtar menjadi hakim konstitusi pada 2009. Akil menjabat Ketua MK sejak 3 April lalu menggantikan Mahfud MD yang pensiun. Akil dipilih dari unsur DPR. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dikky Setiawan