KONTAN.CO.ID - JAKARTA. World Bank alias Bank Dunia mendorong pemerintah Indonesia untuk menghapus pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN). Dalam laporannya berjudul "Pathways Towards Economic Security: Indonesia Poverty Assessment, World Bank merekomendasikan pemerintah untuk menghilangkan pengecualian dan tarif atas PPN. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui bahwa rekomendasi dari World Bank tersebut dapat meningkatkan penerimaan pajak. Terlebih lagi, PPN masih menjadi tulang punggung penerimaan pajak saat ini.
Baca Juga: Luncurkan Program Sewindu PSN, Menko Airlangga Ungkap PSN bagi Kesejahteraan Rakyat Hanya saja, Menkeu bilang, kebijakan penghapusan pembebasan PPN ini sangat sensitif dari sisi politik. Apalagi tidak semua objek pajak dapat dikenakan PPN, misalnya saja jasa pendidikan yang tetap mendapatkan fasilitas bebas PPN sesuai dengan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). "Saya setuju dengan rekomendasi Bank Dunia, tapi kita harus mempertimbangkan. Anda bisa memiliki rancangan ekonomi terbaik tapi kalau tidak didukung politik hanya menjadi laporan saja," kata Menkeu di Jakarta, Selasa (9/5). Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan bahwa pemerintah perlu berhati-hati dalam mengotak-atik kebijakan PPN. Apalagi Bhima bilang, saat ini jumlah tabungan masyarakat kelompok kelas menengah atas cukup gemuk di perbankan. Sehingga belum dapat dipastikan, apakah kalangan tersebut membelanjakan uangnya secara masif. Dirinya khawatir kebijakan PPN tersebut akan berdampak kepada daya beli masyarakat mengingat saat ini sudah mulai memasuki tahun politik. "Momentumnya harus diperhitungkan dengan matang," ujar Bhima kepada Kontan.co.id, Selasa (9/5). Bhima juga khawatir, barang-barang yang dibebaskan dari PPN tersebut akan menyumbang inflasi tambahan. Pada ujungnya, kebijakan penghapusan pembebasan PPN tersebut berdampak pada daya beli masyarakat. "Perlu disimulasikan juga elastisitas pembebasan PPN terhadap permintaan barang yang spesifik. Ada jenis barang tertentu begitu kena pajak langsung turun permintaannya," katanya Untuk itu, Bhima menyarankan pemerintah untuk lebih kreatif lagi dalam mencari tambahan penerimaan pajak. Misalnya saja, menggali penerimaan pajak dari jasa digital. "Jangan intensifikasi pajak terus, tapi coba kenakan PPN ke jasa digital yang potensinya cukup besar tetapi selama ini belum digali," pungkas Bhima. Sementara itu, Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah mengatakan, barang-barang yang dikecualikan dan tidak kena PPN tersebut ada pertimbangannya. Termasuk barang-barang yang dikecualikan seperti barang-barang sembako yang juga dikonsumsi oleh rumah tangga kaya.
Baca Juga: Kembangkan Hilirisasi Peternakan, Kementan Gandeng Kemenkop UKM Oleh karena itu, Piter bilang, harus ada upaya agar PPN tersebut bisa dikenakan secara lebih tepat. Misalnya saja untuk rumah tangga kaya tidak ikut menikmati subsidi PPN. "Tidak gampang untuk mengenakan PPN walaupun ada yang tidak tepat sasaran disana dan menyebabkan penerimaan pajak menjadi tidak maksimal," kata Piter. "Untuk saat ini, belum ada mekanisme yang dapat diterapkan untuk memisahkan PPN barang-barang tersebut antara rumah tangga miskin dan rumah tangga kaya," imbuhnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .