KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah jadi sorotan. Mulai dari kasus Rafael Alun Trisambodo hingga transaksi janggal senilai Rp 349 triliun. Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah mengatakan, saat ini Kemenkeu sudah sangat tanggap ketika terjadi kasus pelanggaran kode etik dan ketentuan kepegawaian yang dilakukan pegawai kemenkeu. "Tindak lanjut yang dilakukan oleh Kemenkeu tidak semuanya dipublikasikan, karena bagaimanapun Kemenkeu harus berpegang prinsip praduga tidak bersalah," ujar Piter kepada Kontan.co.id, Selasa (11/4).
Meski begitu, Piter mendorong Kemenkeu untuk memperbaiki dan meningkatkan komunikasi kepada publik. Lebih baik pula apabila Kemenkeu perlu sedikit membuka kepada publik mengenai kasus-kasus mana saja yang sudah ditindaklanjuti dan bagaimana hasilnya. "Termasuk menyampaikan kepada publik apabila pegawai yang bersangkutan terbukti bersalah atau tindak bersalah," katanya.
Baca Juga: Soal Surat Transaksi Janggal dari PPATK, Menkeu: 186 Surat Sudah Ditindak Lanjuti Sementara untuk kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU) di Kemenkeu, Piter mendorong Kemenkeu juga transparan dalam penuntasaan dugaan kasus TPPU yang melibatkan pegawainya, khususnya bagi kasus yang secara khusus memungkinkan untuk dibuka ke publik. "Ketika investigasi internal memang sudah bisa membuktikan adanya pelanggaran dan kemudian kasusnya bisa dialihkan ke kepolisian atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebaiknya dibuka ke publik," terang Piter. Direktur Eksekutif Pratama-Krseton Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono juga mengatakan hal yang sama. Ia mendorong Kemenkeu untuk bisa lebih transparan dengan internal action untuk meningkatkan integritas aparatnya, termasuk law enforcement yang sudah dilakukan. "Kemenkeu tidak bisa membuka nama-nama pegawai yang terindikasi bermasalah. Asas praduga tak bersalah harus tetap di kedepankan sampai ada proses peradilan," kata Prianto kepada Kontan.co.id, Selasa (11/4). Prianto bilang, sanksi yang dijatuhkan oleh Kemenkeu masih bersifat administratif. Oleh karena itu, Kemenkeu belum bisa mengungkap nama-nama pegawai yang terkena sanksi tersebut. Pasalnya, sanksi administrasi dari Kemenkeu berbeda dari sanksi pidana di pengadilan negeri yang masuk ke ranah sanksi pidana. "Sebetulnya, bukan masalah (Kemenkeu) cenderung tertutup. Masalah utamanya adalah tidak ada keharusan untuk membuka nama-nama yang sudah dijatuhi sanksi tersebut," jelasnya.
Selain itu, sesuai dengan Pasal 2 UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, pembukaan nama-nama pegawai tersebut juga harus mempertimbangkan asas kepatutan dan kepetingan umum. Kemudian, manfaat dan mudharat juga menjadi pertimbangan untuk menentukan apakah suatu informasi publik harus dibuka atau tidak. "Jika mudharat lebih besar, tentu institusi publik tidak akan membukanya," tandas Prianto.
Baca Juga: Usulan Hak Angket Transaksi Janggal Rp 349 Triliun Masih Tahap Pembahasan Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat