Pengamat IPI: Politik identitas tak cocok dengan karakter Indonesia



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kampanye akbar yang dilakukan pasangan calon presiden 02 Prabowo Subianto di Gelora Bung Karno (GBK) pada Minggu (7/4) menyisakan sejumlah tanda tanya bagi publik.

Salah satunya, peristiwa salat subuh berjamaah yang bercampur aduk, antara laki-laki dan perempuan. Juga, politik identitas, yang dipertontonkan dengan arogan dengan cara unjuk kekuatan.  

Direktur Ekskutif Indonesian Public Institute (IPI) Karyono Wibowo menilai, potret salat subuh berjamaah yang dilakukan Minggu (7/4), di mana bercampur antara laki-laki dan perempuan, sementara di sisi yang lain, kelompok mereka selalu gembar-gembor mengangkat kesucian Islam, tetapi dengan gambaran campur aduknya salat subuh, itu justru mengafirmasi, dugaan-dugaan, bahwa berbagai kegiatan agama, simbol-simbol agama sangat melekat terlihat, dan digunakan untuk kepentingan politik praktis dan kekuasaan.


“Sangat nampak digunakan untuk kepentingan politik dengan cara membangkitkan giroh agama. Artinya sahwat politik mereka lebih menonjol, akhirnya mereka tak memperdulikan salat campur aduk begitu, yang terjadi blunder sendiri,” kritik Karyono dalam keterangannya, Senin (8/4). 

Ia mengingatkan, agar berbagai kelompok masyarakat, untuk sadar dan tidak terpancing, oleh kelompok, petinggi partai yang sering kali menggunakan simbol agama, mengutip quran dan hadis, tetapi sejatinya ada kepentingan ekonomi politik dari simbol-simbol agama yang diusung.

“Jadi, dengan kejadian kemarin di GBK, jangan terjebak sentimen agama, yang selalu diusung oleh kelompok tertentu,” tegas Karyono. 

Peristiwa kemarin, kata Karyono, seharusnya menjadi pembelajaran karena sudah nyata di negara ini agama hanya diperalat untuk kepentingan kekuasaan. Hal itu sudah diperlihatkan sebelumnya dengan aksi Reuni 212, yang sebelumnya tidak ada tujuan pemilu, tapi nyatanya sejumlah petinggi partai justru hadir dan memberikan dukungan kepada Prabowo. 

Tokoh partai menggunakan simbol-simbol agama. Bahkan ada imbauan seperti dari Habib Rizieq agar memilih Prabowo. Hal itu jelas bermuatan politik.

“Apakah murni menegakkan Islam atau syahwat kekuasaan. Salat jamaah subuh kenapa harus diimbau, tanpa harus diimbau seharusnya sadar karena itu kewajiban. Ini semata karena ada momentum pilpres, ada kelompok ada yang mengkoordinir,” tegasnya. 

Karyono melihat, ada persoalan parah, yakni rendahnya literasi keagamaan masyarakat sehingga mudah diajak untuk kepentingan politik. Literasi tentang kedalaman agama. Tentang agama Islam dan sejarah Islam.  Karena literasi dan referensi kurang, maka mereka membela tanpa mengetahui tujuan yang sesungguhnya. Artinya tidak bisa membedakan mana ajaran Islam, mana politik Islam, mana Islam politik.

“Oleh karena itu, alim ulama, ustad, intelektual harus memberikan pemahaman yang benar, mengajarkan ajaran Islam yang rahmatan lilalamin. Mereka harus turun gunung, agar masyarakat mengetahui. Itu penting, sehingga tidak menjadi korban bagi kelompok yang sekadar gunakan agama menjadi simbol, demi kepentingan kekuasaan politik,” tandas Karyono .

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto