Pengamat: Isu lowongan kerja, janji murahan Capres



JAKARTA. Program kebijakan penciptaan lapangan kerja dari Calon Presiden Prabowo Subianto dan Calon Wakil Presiden Hatta Rajasa secara teori cukup menjanjikan. Soalnya, penciptaan lapangan kerja melalui sektor industri manufaktur dan industri pertanian memang menciptakan banyak lapangan kerja. Namun pertanyaannya bagaimana caranya visi dan misi ini direalisasikan. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati menilai program visi misi penciptaan lapangan kerja pasangan Prabowo-Hatta bukanlah program yang baru. Para calon presiden dan calon wakil presiden dari tahun-tahun sebelumnya juga telah pernah menjanjikan hal serupa, tapi setelah berkuasa, mereka sulit merealisasikan janji-janji surga tersebut. "Saat ini pemerintah itu selalu kesulitan mencari instrumen untuk mendorong program tersebut tercapai. Secara fakta penciptaan lapangan kerja itu tidak mudah. Dan lowongan kerja yang dijanjikan juga tidak berkualitas atau murahan," ujarnya kepada KONTAN beberapa waktu lalu. Ia mengatakan, perlu upaya konkrit dan kerja fokus untuk menambah lapangan pekerjaan selain mengundang investor asing masuk dan membuka lapangan pekerjaan di sektor pertanian. Salah satunya adalah pembangunan infrastruktur dasar dan efisiensi bagi industri dalam menjalankan usahanya. Tanpa langkah konkrit, maka visi misi kebijakan lapangan kerja Prabowo-Hatta hanya sebatas janji manis di bibir saja. Pengamat Ekonomi dari Universitas Ma Chung, Dodi Arifianto mengungkapkan hal senada. Menurutnya, menarik industri dari China untuk relokasi di Indonesia bukan lagi kebijakan populer. Buruh di Indonesia sudah tidak lagi bisa dibayar murah. "Yang dibutuhkan adalah lapangan kerja yang berkualitas. Sekarang bukan lagi era buruh murah," tandasnya. Selain itu, untuk membuka lapangan pekerjaan, pemerintah harus membenahi berbagai sektor pendukung. Baik itu dari sisi energi, listrik, jalan, transportasi, kepastian hukum dan birokrasi, serta kemudahan perizinan. Justru dari sektor pendukung ini, Indonesia masih kalah dengan beberapa negara lain di ASEAN. Dodi juga meragukan apakah produk-produk manufaktur asal China tertarik masuk ke Indonesia. Soalnya, margin keuntungan yang tipis produk China tidak terlalu menggiurkan. Justru produk industri dari Taiwan, Jepang dan Korea Selatan dianggap saat ini lebih menjanjikan ketimbang Tiongkok.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Hendra Gunawan