Pengamat: Jokowi-JK mulai bayar upah pendukungnya



JAKARTA. Satu per satu orang-orang yang saat kampanye pemilihan presiden menjadi menyokong Joko Widodo dan Jusuf Kalla mulai mendapat jatah kursi di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Setelah Desember lalu, Diaz Hendropriyono, anak mantan Kepala BIN, AM Hendropriyono yang juga bekas tim sukses Jokowi- JK didapuk menjadi komisaris utama di PT Telkomsel, beberapa relawan lain juga mulai mendapat bagian.

Pertama, Hironimus Hilapok. Anggota Kelompok Kerja Papua dalam Tim Transisi Jokowi- JK ini telah diangkat menjadi Komisaris di PT Adhi Karya. Kedua, Cahaya Dwi Rembulan, Kader PDI Perjuangan yang juga anggota Tim Transisi Jokowi- JK didapuk menjadi komisaris independen di PT Bank Mandiri.

Ketiga, Patianari Siahaan. Politisi PDIP yang pernah menjadi anggota FPDIP 2004-2009 dan 1999- 2004 dan aktif menjadi dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti didapuk menjadi komisaris independen di PT Bank Negara Indonesia Tbk.


Atas penjatahan itu, Direktur Center for Budget Analysis Uchok Sky Khadafi mengatakan, penunjukan mantan anggota tim sukses menjadi pejabat BUMN merupakan bukti, transaksi politik di Pemerintahan Jokowi-JK masih ada. "Itu upah, selama ini mereka dukung Jokowi-JK dan kini ada upah yang dibayar," katanya.

Uchok bilang, upah politik dalam pengurusan BUMN ini bisa membahayakan perusahaan plat merah dalam negeri. Bahaya ini khususnya dikaitkan dengan kemampuan para tokoh yang didapuk menjadi petinggi BUMN.

Hampir sebagian besar petinggi BUMN yang merupakan mantan anggota tim sukses Jokowi- JK tidak mempunyai kemampuan dan kompetensi yang mumpuni untuk mengurusi BUMN. "Ambil contoh Refly Harun, tidak mungkin pakar hukum tata negara urusi jalan tol, Diaz Hendropriyono, juga tidak mumpuni," katanya.

Sementara itu Sofjan Djalil, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian mengatakan bahwa menempati jabatan publik dan perusahaan BUMN bagi semua orang, termasuk mantan anggota tim sukses, orang dekat tidak dilarang. Tapi, pada masa Pemerintahan Jokowi- JK, hal tersebut diperketat.

Sofjan mengatakan, orang tersebut harus memiliki beberapa syarat. Pertama, memiliki kompetensi dan integritas. Kedua, bukan petinggi partai politik. "Orang partai apalagi petinggi dan aktif tidak bileh, kecali kalau sudah mundur," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Uji Agung Santosa