JAKARTA. Pengamat perbankan, Budi Mulyono, mengatakan apabila survei Bank Indonesia (BI) yang memprediksi pertumbuhan kredit tahun ini lebih lambat dibanding tahun lalu tercapai, hal ini menunjukkan keberhasilan kebijakan BI selama ini.Menurutnya, kebijakan BI dengan mendorong suku bunga acuan (BI Rate) beberapa kali sampai naik 7,5% memang amat diperlukan mengingat pertumbuhan sektor riil juga melambat sejak tahun lalu. "Terlebih untuk sektor tertentu seperti properti, resiko kredit macet alias NPL semakin besar mengingat harga properti makin tinggi tak terkendali," kata Budi saat dihubungi KONTAN, Minggu, (19/1).Budi menjelaskan, depresiasi rupiah terhadap dollar AS juga membuat sejumlah perusahaan berbasis impor terpukul. Sebab, biaya impor membengkak akibat nilai rupiah merosot tajam. Begitu juga perusahaan berbasis ekspor sumber daya alam. "Kalau dalam situasi seperti ini bank tetap kencang menyalurkan kredit, risiko tingginya kredit macet pasti akan terjadi. Sehingga penyaluran memang perlu diperlambat dengan menaikkan bunga," ujar pria yang juga Ekonom Bank of Tokyo Mitshubisi UFJ tersebut.Budi yakin perlambatan kredit ini tak akan merugikan industri perbankan meskipun laba yang diperoleh dari bunga kredit mungkin akan terpengaruh. Bagaimanapun, serangkaian kebijakan BI melalui kenaikan BI Rate dan aturan Loan To Value (LTV) untuk kredit properti akan lebih menyehatkan kualitas penyaluran kredit.Sebagaimana diketahui, BI memperkirakan pertumbuhan kredit tahun ini hanya mencapai 19,1%. Melambat dibandingkan tahun lalu dimana perkiraan pertumbuhan kredit mencapai 20,8%.
Pengamat: Kenaikan BI rate memang diperlukan
JAKARTA. Pengamat perbankan, Budi Mulyono, mengatakan apabila survei Bank Indonesia (BI) yang memprediksi pertumbuhan kredit tahun ini lebih lambat dibanding tahun lalu tercapai, hal ini menunjukkan keberhasilan kebijakan BI selama ini.Menurutnya, kebijakan BI dengan mendorong suku bunga acuan (BI Rate) beberapa kali sampai naik 7,5% memang amat diperlukan mengingat pertumbuhan sektor riil juga melambat sejak tahun lalu. "Terlebih untuk sektor tertentu seperti properti, resiko kredit macet alias NPL semakin besar mengingat harga properti makin tinggi tak terkendali," kata Budi saat dihubungi KONTAN, Minggu, (19/1).Budi menjelaskan, depresiasi rupiah terhadap dollar AS juga membuat sejumlah perusahaan berbasis impor terpukul. Sebab, biaya impor membengkak akibat nilai rupiah merosot tajam. Begitu juga perusahaan berbasis ekspor sumber daya alam. "Kalau dalam situasi seperti ini bank tetap kencang menyalurkan kredit, risiko tingginya kredit macet pasti akan terjadi. Sehingga penyaluran memang perlu diperlambat dengan menaikkan bunga," ujar pria yang juga Ekonom Bank of Tokyo Mitshubisi UFJ tersebut.Budi yakin perlambatan kredit ini tak akan merugikan industri perbankan meskipun laba yang diperoleh dari bunga kredit mungkin akan terpengaruh. Bagaimanapun, serangkaian kebijakan BI melalui kenaikan BI Rate dan aturan Loan To Value (LTV) untuk kredit properti akan lebih menyehatkan kualitas penyaluran kredit.Sebagaimana diketahui, BI memperkirakan pertumbuhan kredit tahun ini hanya mencapai 19,1%. Melambat dibandingkan tahun lalu dimana perkiraan pertumbuhan kredit mencapai 20,8%.