KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengamat EnergiĀ Universitas Gadjah Mada (UGM) Tumiran menilai, akselerasi kendaraan listrik menjadi salah satu kunci mencapai
net zero carbon di 2060 mendatang. Tumiran mengungkapkan, peran sektor kelistrikan berfungsi mendorong aktivitas ekonomi sekaligus mendukung geliat industri nasional. Transisi dari kendaraan berbasis bahan bakar ke minyak berpotensi mendorong
demand listrik. "Program transisi energi idealnya juga didukung dari sisi hilir (peningkatan permintaan). Jika sudah ada peningkatan
demand, maka dari sisi hulu lebih mudah beralih," ujar Tumiran dalam keterangan resmi yang diterima Kontan.co.id, Kamis (18/11).
Dia melanjutkan, selain meningkatkan permintaan listrik, transisi menuju kendaraan listrik juga bakal mereduksi emisi CO2 dari sektor transportasi. Untuk itu, dengan adanya transisi kendaraan berbasis bahan bakar minyak menjadi listrik, upaya mereduksi emisi CO2 secara besar-besaran dapat dilakukan.
Baca Juga: Demand listrik meningkat, Indonesia Power siap jaga pasokan listrik "Kalau sektor transportasi emisinya direduksi, sementara sumber listriknya juga berasal dari EBT, maka target-target pemerintah terkait
net zero carbon lebih realistis untuk dicapai," lanjut Tumiran. Komitmen pemerintah dalam
net zero carbon pada 2060, lanjut Tumiran, patut diapresiasi. Hanya saja, implementasi program di lapangan perlu menyelaraskan kebutuhan badan usaha dalam hal ini PLN. "Pembangkit EBT struktur biayanya tinggi. Makanya, kami mendukung PLN sebagai ujung tombak transisi energi dengan memastikan implementasi mobil listrik, kompor induksi, dan sebagainya lebih masif," imbuh Tumiran. Tumiran menambahkan, beralihnya masyarakat dari kendaraan BBM ke listrik juga akan menekan impor BBM. Berdasarkan
roadmap yang disusun Kementerian ESDM, potensi jumlah kendaraan listrik di Indonesia pada 2030 mencapai 2,2 juta mobil listrik dan 13 juta motor listrik dengan 31.859 unit SPKLU. Jumlah kendaraan listrik ini diharapkan bisa menekan impor BBM sekitar 6 juta kiloliter pada tahun tersebut. Selain mampu mereduksi emisi, berhasilnya program kendaraan listrik juga akan memangkas pengeluaran konsumen dari sisi biaya energi. Mengutip keterangan resmi PLN, dari sisi penghematan, pengendara mobil listrik hanya perlu merogoh kocek Rp 10.000 saja untuk menempuh jarak 72 kilometer (km). Jika dibandingkan dengan bahan bakar minyak (BBM), maka dengan jarak tempuh 72 kilometer, masyarakat harus merogoh kocek sekitar Rp 60.000 dengan asumsi harga BBM, Rp 9.000 per liter. Selain mendukung terbentuknya ekosistem kendaraan listrik, PLN telah mencanangkan peta jalan yang komprehensif menuju NDC 2030 dan Neutral Carbon 2060.
Baca Juga: Kembangkan baterai kendaraan listrik, IBC harap bisa bentuk joint venture tahun depan Perusahaan setrum pelat merah tersebut menargetkan pengurangan emisi sebesar 900 juta ton CO2 ekuivalen pada 2060. Target tersebut akan dicapai melalui sejumlah strategi yaitu mengembangkan pembangkit berbasis energi baru terbarukan (EBT), konversi Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) ke EBT, pengembangan pembangkit gas, menerapkan teknologi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) ramah lingkungan.
PLN juga akan memensiunkan PLTU, penerapan
co-firing, melakukan penerapan efisiensi dan menurunkan susut jaringan, percepatan memensiunkan PLTU, Carbon Capture and Storage(CCS), serta penerapan
co-firing berbasis hidrogen. Sebagai ujung tombak menuju Carbon Neutral 2060, PLN setidaknya membutuhkan investasi mencapai US$ 500 miliar untuk beralih dari skenario
business as usual (BAU) menjadi
carbon neutral dengan biaya mitigasi senilai US$ 35 - US$ 40 per ton CO2 ekuivalen. "Untuk itu, dibutuhkan dukungan berbagai pihak untuk mencapai target tersebut," pungkas Tumiran.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari