Pengamat: Kesalahan SKL BLBI harus diuji di TUN



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penyelesaian kebijakan penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) terhadap debitur Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) tidak bisa dipidanakan.

Sekalipun ditemukan adanya penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan SKL, maka dari sisi administrasi negara hal tersebut harus diuji terlebih dahulu lewat peradilan Tata Usaha Negara (TUN), mengingat sebuah tindak pidana tidak dapat berdiri sendiri namun terikat dengan hukum lain. 

Praktisi hukum Administrasi Negara Irman Putra Sidin mengatakannya, terkait upaya hukum yang saat ini sedang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seputar penerbitan SKL terhadap para debitur BLBI.


Irman menyatakan, sejatinya SKL merupakan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah guna memberikan kepastian hukum terhadap debiturnya. Kebijakan yang bersandar pada untung-rugi bagi negara ini dipandangnya dikeluarkan, juga bertujuan memberikan kepastian hukum di sektor usaha maupun negara. 

 “Kita sering salah kaparah. sebuah tindak pidana tidak berdiri sendiri, melainkan terikat pada hukum lain. Seperti halnya kasus korupsi, bila yang diindikasikan adalah penyalahgunaan wewenang atas suatu kebijakan, maka ranahnya masuk ke dalam peradilan TUN,” Irman menjelaskan, Jumat (12/12).

“Harusnya diuji dulu di TUN. (Hukum pidana) bukan superior terhadap hukum lain. Kalau menyangkut penyalahgunaan kewenangan maka ranahnya TUN. SKL itu kalau kebijakan negara maka itu tidak bisa dipidana,” imbuh Irman.

Lebih jauh Irman menuturkan, penyelesaian kasus terhadap bank atau pemilik bank yang tersangkut kasus BLBI tak dapat dipenjara karena termasuk ke dalam ranah piutang negara. Hal itu menurutnya telah diatur oleh hukum HAM internasional yang menyebutkan tak boleh adanya pemenjaraan dalam kasus piutang. 

“Hukum HAM internasional, Tidak boleh orang dipenjara karena utang. Kalau piutang di atas 100 miliar bisa dihapuskan dengan persetujuan presiden dan DPR, namanya SKL itu. Piutang negara itu sudah ada mekanismenya, tidak boleh dipenjara,” timpalnya.

Hal senada disampaikan Pakar Hukum Pidana Univesitas Islam Indonesia (UII) Prof. DR. Mudzakir menekankan tanggungjawab korporasi tidak serta merta beralih kepada pemegang saham mayoritas.

Sebagai subjek hukum, korporasi semestinya yang tanggung jawab korporasi. Dalam kasus penyelidikan terhadap SKL, KPK menurut Mudzakir seharusnya terlebih dahulu memintai pendapat dari sejumlah ahli hukum pidana maupun ahli perbankan sebelum bergerak lebih jauh.

“Misalnya kalau korporasi itu pailit, semestinya alihnya adalah tagihan sebagai likuidasi. Kalau itu menjadi tagihan likuidasi artinya apa yang menjadi kewajiban debitur itu sudah selesai, bayarnya sudah selesai. Di mana pun kredit macet itu dialihkan tagihannya, bukan menjadi tanggung jawab pribadi. Semua ahli perbankan ngomong menyatakan itu kewajiban korporasi bukan pribadi. Kalau mau disita, seluruh harta kekayaan itu sudah diserahkan, termasuk juga tagihan itu kepada BPPN,” ucap Mudzakir. 

Mudzakir mengingatkan penyidik KPK harus dapat memahami kapan sebuah perkara ditanyakan perdata dan pidana.  Seperti halnya dalam kasus penerbitan SKL, KPK disebut Mudzakir selalu mengatakan hal tersebut inisiatif Syafrudin Tumenggung. Sementara sebagai kepala BPPN, Syafrudin wajib melakukan inisiasi itu.

“KPK sebaiknya ngundang ahli dulu yang netral, obyektif, kalau kasus seperti ini tanggung jawab siapa. Itu yang belum terjawab. Penyidik jangan berpendapat dulu nanya aja dulu prinsip-prinsip perbankan seperti apa,” imbuh Mudzakir.

Editor: Yudho Winarto