Pengamat: Neraca BUMN konstruksi jadi pertimbangan S&P dalam memberikan rating



KONTAN.CO.ID - JAKARTA.  Lembaga pemeringkat Standard & Poor's (S&P) menyoroti memburuknya neraca keuangan perusahaan-perusahaan BUMN infrastruktur. Sebab, utang dari perusahaan-perusahaan itu membengkak.

Dalam laporannya, S&P menyatakan bahwa rasio utang 20 BUMN yang terdaftar di bursa serta dinilai oleh S&P menunjukkan adanya peningkatan menjadi 5 kali terhadap EBITDA. Hal ini pun diperkirakan akan meningkat pada 2018 dan menjelang pemilihan 2019.

Project Consultant Asian Development Bank (ADB) Institute Eric Sugandi mengatakan, pemburukan neraca perusahaan-perusahaan BUMN ini bisa berdampak panjang.


“Untuk credit rating Indonesia sendiri, S&P akan menjadikan neraca BUMN konstruksi sebagai pertimbangan dalam memberikan rating,” kata Eric kepada KONTAN, Kamis (22/3).

Selain itu, ada pula beberapa dampak lainnya. Pertama, pemburukan neraca ini bisa berdampak pada harga saham perusahaan-perusahaan tersebut di bursa.

Kedua, ini juga bisa mengurangi kemampuan mereka memperoleh pinjaman baru dan kreditor bisa menaikkan risk premium terhadap mereka sehingga bisa menaikkan bunga pinjaman.

Sementara itu, Head of Industry and Regional Research Department Office of Chief Economist PT Bank Mandiri Tbk Dendi Ramdani mengatakan, kondisi neraca BUMN konstruksi ini tidak bakal menyebakan S&P menahan rating upgrade dalam jangka dekat.

“Tidak, karena BUMN konstruksi adalah sama seperti perusahaan swasta lain. Beda kasusnya kalau terjadi pada PLN karena PLN dijamin sepenuhnya oleh pemerintah,” ujar dia kepada KONTAN.

Meski begitu, ia mengatakan bahwa ada implikasi masalah yang mungkin terjadi terhadap stabilitas ekonomi makro dari tekanan cash flow BUMN ini. Namun, tidak signifikan.

“Paling-paling risiko terhadap sektor perbankan, yaitu kemungkinan kenaikan kredit bermasalah, tapi dengan manajemen cash flow yang disiplin, sepertinya risiko ini kemungkinannya kecil terjadi,” ucapnya.

Dendi mengatakan, oleh karena itu masalah cash flow dan likuiditas ini harus dikelola secara hati-hati. “Jangan sampai terjadi gagal bayar (default) terhadap utang-utang dan tagihan yang jatuh tempo karena akan menurunkan valuasi investor terhapa harga saham perusahaan-perusahaan tersebut,” kata Dendi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia