KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Munculnya skema
power wheeling atau pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik dinilai membuka ruang liberalisasi sektor ketenagalistrikan nasional. Kepala Center of Food, Energy, and Sustainable Development Indef Abra Talattov menyebut hal ini dapat dibaca sebagai bentuk pengkhianatan terhadap mandat konstitusi dimana sektor ketenagalistrikan merupakan sektor strategis yang harus dikendalikan oleh negara. "Saya kira dalih percepatan transisi energi melalui skema
power wheeling sangat tidak masuk akal," kata dia dalam keterangannya, Kamis (26/1).
Abra pun memaparkan tiga alasan mengapa publik perlu mencermati sejumlah pasal dalam RUU EBT yakni pasal 29 A, pasal 47 A, pasal 60 ayat 5. Pertama, tidak ada urgensi sama sekali untuk menjadikan skema
power wheeling sebagai pemanis atau
sweetener dalam menstimulasi porsi pembangkit EBT.
Baca Juga: Tarik-menarik Skema Power Wheeling dalam RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) Abra menjelaskan bahwa tanpa adanya gula-gula pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik, Pemerintah sebetulnya sudah menggelar karpet merah bagi swasta untuk memperluas bauran EBT sebagaimana yang dijaminkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030. Dalam RUPLT itu, target tambahan pembangkit EBT mencapai 20,9 gigawatt (GW) dengan porsi swasta mencapai 56,3% atau setara dengan 11,8 GW. "Artinya, dengan menjalankan RUPTL 2021-2030 secara konsisten saja, secara alamiah bauran pembangkit EBT hingga akhir 2030 akan mencapai 51,6%," tegasnya. Kedua, pengusulan skema power wheeling kurang relevan, mengingat saat ini beban negara yang semakin berat menahan kompensasi listrik akibat kondisi
oversupply listrik yang terus melonjak. Abra mengatakan, saat ini kondisi sektor ketenagalistrikan sangat miris karena terjadi disparitas yang lebar antara
supply dan
demand listrik. Hingga akhir Tahun 2022 lalu saja
oversupply menyentuh sekitar 7 GW. "Situasi
oversupply listrik tersebut berpotensi makin membengkak karena masih adanya penambahan pembangkit baru hingga 16,3 GW pada 2026 sebagai implikasi dari megaproyek 35 GW," katanya.
Baca Juga: Pengamat Kritik Skema Power Wheeling untuk Fasilitasi Energi Baru dan Terbarukan Ketiga, implikasi kerusakannya terhadap kesehatan keuangan negara. Di tengah kondisi
oversupply listrik sebesar 1 GW saja, lanjut Abra, biaya yang harus dikeluarkan negara melalui PLN atas konsekuensi skema Take or Pay bisa mencapai Rp 3 triliun per GW. "Secara sederhana kalau kita asumsikan rata-rata
oversupply listrik sebesar 6-7 GW per tahun, maka potensi
oversupply selama 2022-2030 mencapai 48GW - 56 GW atau setara dengan tambahan biaya Rp 144-168 triliun," pungkasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tendi Mahadi