Pengamat: Pajak karbon cocok diterapkan di Indonesia



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Untuk menggenjot penerimaan negara dan mengurangi emisi gas rumah kaca di tahun 2022, pemerintah berencana untuk memungut pajak karbon (carbon tax).

Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam menilai, penerapan pajak karbon pada dasarnya cocok diterapkan di Indonesia. Dia menjabarkan beberapa alasan yang mendukung pernyataannya tersebut.

Pertama, menurut Dana Moneter Internasional (IMF) dan OECD, di tengah tekanan penerimaan pajak akibat pandemi, pajak karbon bisa jadi salah satu opsi kebijakan yang bisa diterapkan sebagai salah satu sumber penerimaan. “Sifatnya, jika didesain secara ideal, juga tidak terlalu mendistorsi proses pemulihan ekonomi,” ujar Darussalam kepada Kontan.co.id, Minggu (23/5). 


Kedua, pajak karbon berorientasi bagi mitigasi perubahan iklim dan menjadi instrumen untuk melindungi lingkungan. Sifatnya yang mengurangi eksternalitas negatif, selaras dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. 

Baca Juga: Pemerintah hadirkan dua alternatif dalam rangka ingin pungut pajak karbon

Ketiga, sudah banyak negara yang menerapkan pajak karbon, setidaknya 25 negara, seperti Kanada, Ukraina, Jepang, Prancis, Chile, dan lain-lain dan penerapan pajak ini bahkan telah berhasil mengurangi emisi karbon. “Sebagai contoh Swedia yang telah menerapkan pajak ini sejak 1995 telah berhasil menurunkan tingkat emisi karbonnya sebesar 25%,” tambah Darussalam. 

Kemudian, Darussalam berpesan agar pemerintah tak perlu buru-buru bicara mengenai tarif. Yang terpenting adalah, pemerintah sudah memiliki pemetaan yang tepat. 

Baca Juga: Elon Musk tangguhkan penggunaan bitcoin untuk pembelian Tesla

Pertama, pemerintah memetakan secara tepat dan menyasar pada sektor, aktivitas, dan/atau barang yang menimbulkan polusi (polluter pays principle) sehingga efektif. Kedua, skema pungutan seperti apa yang akan dikenakan, apakah jenis pajak baru atau mengacu pada pungutan yang sudah ada seperti cukai, PPh, PPN, atau lainnya. 

Ketiga, dasar pengenaan pajaknya. Misal, apakah berbasis pada estimasi emisi karbon, konsumsi bahan bakar, atau lainnya. 

Baca Juga: Sri Mulyani: Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi pada 2022 sebesar 5,8% yoy

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati