KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah akan mengubah tarif pajak pertambahan nilai (PPN). Perubahan tarif PPN itu akan masuk revisi Undang-Undang (UU) tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Dalam dokumen draft perubahan UU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang diterima Kontan.co.id, pemerintah mengajukan revisi kelima Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) ke parlemen yang rencananya dibahas di tahun ini. Dalam draf perubahan UU KUP yang dihimpun KONTAN.co.id, setidaknya mencakup tujuh reformasi perpajakan baik berkaitan dengan UU KUP, UU Pengampunan Pajak, UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), hingga UU Pajak Penghasilan (PPh).
Pertama, pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) multi tarif. Kedua, menjalankan program pengampunan pajak atau tax amnesty. Ketiga, menambah layer penghasilan kena pajak beserta tarifnya. Keempat, pengenaan pajak karbon. Menanggapi rencana perubahan tersebut, Pengamat Pajak Center for Indonedia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar berpendapat, reformasi yang tepat dilakukan di 2022 adalah terkait kenaikan tarif PPN. Baca Juga: Mohon perhatian! Tarif PPN diusulkan naik menjadi 12% Kata Fajry, kenaikan tarif PPN dibutuhkan karena pungutan pajak penghasilan (PPh) badan di masa depan tidak lagi dapat diharapkan. Sebab, terdapat fenomena yang disebut sebagai “race to the bottom” dimana tarif PPh badan terus mengalami penurunan dan akan sangat berisiko. “Ketika PPh badan tidak dapat diandalkan maka butuh pungutan lain yang dapat menggantikan. Pungutan ini adalah PPN. PPN sebagai sumber penerimaan, dia adalah sumber penerimaan yang sangat dapat diandalkan sekali. Bahkan PPN distorsinya bagi ekonomi itu sangat kecil dibandingkan PPh badan,“ ujar Fajry kepada Kontan.co.id, Jum’at (4/6).