KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengamat menilai aturan pengusahaan ketengalistrikan yang melibatkan swasta dalam membangun jaringan transmisi listrik belum jelas. Maka itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan merinci aturan ini setelah revisi RUPTL 2021-2030 rampung. “(Regulasi) menunggu revisi RUPTL,” ujar Direktur Jenderal Ketenagalistrikan, Jisman P Hutajulu kepada Kontan.co.id, Selasa (8/8). Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa menjelaskan aturan mengenai pelaksanaan usaha ketenagalistrikan sudah diatur di dalam Undang-Undang Ketenagalistrikan lalu diperbarui di dalam Undang-Undang Cipta Kerja dan aturan turunannya Peraturan Menteri (Permen) Nomor 11 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Usaha Ketenagalistrikan.
Baca Juga: Bangun Nusantara Grid, Pemerintah Buka Potensi Gaet Pihak Swasta “Namun di dalam ketentuan Permen No 11 Tahun 2021 belum jelas apakah selain badan usaha yang terintegerasi wilayah usahanya dapat membangun dan mengoperasikan transmisi itu. Jadi dasarnya tidak jelas, karena itu saya menyimpulkan swasta tidak boleh,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Rabu (9/8). Berkaca pada praktik di beberapa negara, penyediaan usaha tenaga listrik tidak harus badan usaha yang terintegrasi dari pembangkit ke distribusi sehingga sifatnya hanya segmentasi saja. Jadi transmisi dikelola oleh operator independen, atau satu perusahaan yang khusus bergerak di distribusi. Saat ini, lanjutnya, ada skema kerja sama pengembangan transmisi listrik bersama swasta yang berpotensi dikembangkan di Indonesia. Misalnya saja skema Build Operation Transfer (BOT) di mana pihak swasta membangun transmisi dan mengoperasikannya berdasarkan kontrak dengan PLN. Nantinya PLN mendapatkan asetnya setelah masa kontrak berakhir. Hingga saat ini Fabby belum bisa memastikan apakah bisnis transmisi listrik ini menarik di mata perusahaan swasta. Pasalnya, pembangunan jaringan listrik butuh modal yang sangat besar (capital intesive), return kecil, dan risikonya besar. “Kita itu mengelola aset panjangnya ratusan bahkan ribuan kilometer. Asetnya terbuka, apapun kejadian bisa terjadi untuk mengawasi ratusan kilometer. Sementara return of investment (RoI) tidak setinggi bisnis pembangkit,” ujarnya. Tidak hanya itu, saat ini pihak pengusaha juga belum tahu jelas proyek transmisi apa saja yang mau dibangun. Setelah proyeknya jelas dan hitungan investasinya sudah ada, baru bisa dihitung menarik atau tidak proyek tersebut. Di sisi lain, satu perusahaan Independent Power Producer (IPP) secara umum mendukung rencana transisi energi yang akan dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Perusahaan itu ialah PT Adaro Energy Tbk (ADRO) melalui PT Adaro Power. “Kami siap mendukung dan terbuka untuk berkolaborasi dengan berbagai pihak,” ujar Head of Corporate Communication Adaro Energy Febriati Nadira saat dihubungi terpisah. Perempuan yang biasa disapa Ira ini mengatakan, saat ini Adaro sudah memiliki beberapa proyek energi baru terbarukan (EBT) dan dikembangkan oleh berbagai mitra. Menurutnya kolaborasi diperlukan agar dapat menciptakan sinergi dan mempercepat proses transisi energi, serta transfer ilmu pengetahuan untuk Indonesia.
Baca Juga: Pikat Investor untuk Garap Pembangkit EBT, Pemerintah Kaji Revisi RUPTL Ke depannya, lanjut Ira, Adaro terus memperdalam portfolio energi terbarukan dengan berpartisipasi aktif dalam tender, akuisisi, maupun pemgembangan dari awal (greenfield) proyek-proyek pembangkit listrik hijau. Setiap tahun, Adaro menyiapkan alokasi dana untuk pengembangan proyek-proyek yang akan di sesuaikan kembali oleh manajemen bersama dengan tim proyek dari waktu ke waktu. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi