Pengamat: Revisi UU Bank Indomesia diperlukan, tapi jangan menyentuh independensi



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat ini tengah mengkaji revisi undang-undang Bank Indonesia (BI). Rencana ini pun menimbulkan perdebatan, sebab dalam baleid itu disebutkan akan dikembalikannya fungsi pengawasan perbankan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ke BI secara bertahap. Paling lambat hingga tanggal 31 Desember 2023. 

Tak hanya itu, masih dalam revisi UU BI, ada juga usulan untuk dibentuknya Dewan Moneter. Tugasnya tak lain untuk membantu tugas Pemerintah dan BI dalam merencanakan dan menetapkan kebijakan moneter. 

Menanggapi hal itu, Wakil Direktur INDEF Eko Listiyanto mengatakan revisi tersebut tidak tepat dengan kebutuhan pasar saat ini. Sebab, menurutnya sejauh ini keberadaan OJK masih tetap dibutuhkan. Hal ini mengingat dunia sektor jasa keuangan perkembangannya ke depan bakal semakin kompleks, seiring dengan kemajuan zaman. 


"Diperlukan  lembaga pengawas yang kredibel dan mumpuni untuk mengatur dinamika yang terjadi, serta dapat secara baik memitigasi setiap risiko yang muncul. Dengan segala macam tantangan tersebut, diperlukan keberadaan OJK yang sigap dalam mengatur dan mengembangkan sektor keuangan ke depan," terang Eko dalam Webinar Infobank di Jakarta, Selasa (22/9).

Dia juga menilai, saat ini OJK justru perlu diperkuat dari sisi pengawasannya ketimbang memisahkan pengawasan. Menurutnya, bila terjadi pemisahan fungsi pengawasan tentu bisa menimbulkan kesan bahwa pemerintah mengesampingkan Industri Keuangan Non-Bank (IKNB). 

Apalagi, di era yang serba digital seperti sekarang, kemajuan teknologi semakin masif. Hal ini pun membuat kompleksitas di sektor jasa keuangan menjadi semakin kompleks. Hal ini terjadi di seluruh lini sektor, termasuk perbankan. 

Sekaligus, dalam situasi pandemi Covid-19 ini menurut Eko, dengan menyentuh ranah independensi bank sentral akan bisa berdampak pada ketidakstabilan pada pasar. "Undang-undang BI memang perlu ada revisi, tapi jangan menyentuh independensi, karena akan sangat riskan," imbuhnya. 

Baca Juga: Marak tawaran pinjaman online lewat SMS, AFPI: Itu praktik fintech ilegal

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi XI DPR Fathan Subchi mengatakan, revisi UU BI tersebut memang merupakan usulan dari tenaga ahli di DPR. Namun, dia menegaskan, bahwa baleid tersebut sejatinya masih dalam tahap pembahasan dan belum dibahas oleh seluruh fraksi. Artinya, masih sangat mungkin untuk diperdebatkan bahkan diubah. 

Dari kacamatanya, menurut Fathan isu pengalihan pengawasan perbankan dari OJK ke BI telah mengganggu stabilitas pasar dan menganggu kepercayaan investor. "Saya kira sangat menganggu, karena perubahan-perubahan itu membuat investor tidak yakin bahwa Indonesia berpijak pada undang-undang," terangnya. 

Begitu pun dengan usulan dibentuknya Dewan Moneter yang dirasa tidak perlu. Karena sejatinya, untuk menjaga stabilitas sistem keungan di Tanah Air saat ini sudah ada Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Adapun anggota KSSK saat ini antara lain Menteri Keuangan, Ketua Dewan Komisioner OJK, Gubernur BI, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Dari keempatnya, hanya LPS yang tidak memiliki suara dalam komite itu. 

Pun, saat ini pemerintah sendiri juga sedang mempersiapkan Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang (Perppu) Reformasi Sistem Keuangan untuk mengantisipasi krisis keuangan akibat pandemi, dengan fokus penguatan pada BI, OJK dan LPS. 

Di sisi lain, dia juga memastikan bahwa pemerintah dan DPR tentunya sejauh ini sepakat untuk tidak menyinggung fungsi independensi. "Soal independensi kita tidak usaha khawatir. Kita tetap jaga, DPR juga bersama pemerintah dan teman-teman stakeholder berkomitmen untuk menjaga independensi BI," terangnya. 

Selanjutnya: Revisi UU Bank Indonesia Tak Terbendung

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .