KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah berencana akan menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) mengenai Tarif Pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 atas Penghasilan dari Pekerjaan, Jasa dan Kegiatan. Rencana ini diketahui dari salinan Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 2022 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2023 yang diteken Jokowi pada 23 Desember 2022. Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji mengatakan, adanya RPP tentang pemotongan PPh 21 relevan dengan perkembangan terkini, yakni upaya untuk mendorong kepatuhan wajib pajak orang pribadi yang belum sepenuhnya optimal serta sejalan dengan reformasi pajak Indonesia yang salah satunya mengedepankan aspek kepastian dan kemudahan.
Bawono bilang, perlu dipahami bahwa skema pemotongan atas penghasilan (
pay as you earn/PAYE) adalah skema yang dianut oleh Indonesia dan mayoritas negara di dunia. Namun demikian, basis pengenaan pajak dan penghitungan PPh 21 saat ini cukup beragam dan relatif kompleks. Misalnya, atas pegawai dan non pegawai, pekerja upah harian dan sebagainya. Selain itu, Indonesia juga menganut sistem
year end adjusment PAYE, artinya pemotongan PPh 21 dilakukan bulanan (setiap masa pajak) dengan memperhatikan besaran PPh yang disetahunkan. Bawono juga menyampaikan, pada akhir tahun juga akan dilakukan penyesuaian agar pemotongan yang dilakukan sesuai dengan penghasilan kena pajak (PKP).
Baca Juga: Sederhanakan Administrasi Perpajakan, Pemerintah Susun RPP Tarif Pemotongan PPh 21 Pada praktiknya, dirinya menilai, hal tersebut akan memberikan sejumlah tantangan, misalnya dalam menghitung komponen penghasilan bruto, ketersediaan informasi atas status perkawinan dan tanggungan, adanya penghasilan yang teratur/tidak teratur, hingga adanya keluar masuk karyawan. Akibatnya, hal tersebut akan memberikan beban yang besar bagi pemberi kerja atau penghasilan apalagi jika terdapat kesalahan dalam penghitungan pemotongan. "Sementara dari sisi pemerintah, kerumitan tersebut berpotensi menimbulkan
revenue forgone (pendapatan yang hilang) akibat kesalahan hitung. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya simplifikasi pemotongan PPh 21," ujar Bawono kepada Kontan.co.id, Rabu (28/12). Bawono mengungkapkan, setidaknya ada dua solusi dan telah dipertimbangkan dalam RPP tersebut. Pertama, adanya klasterisasi beberapa skema penghitungan pemotongan PPh 21 yang karakteristiknya serupa sehingga tidak terlalu rumit. Sebagai informasi, saat ini setidaknya terdapat 13 kelompok PPh 21 mulai dari pegawai tetap, tenaga ahli, peserta kegiatan, pejabat negara, hingga pensiunan yang mana tarif dan dasar pengenaan pajaknya berbeda-beda. "Akan sangat baik jika ada penyederhanaan atas variasi tersebut," katanya. Kedua, adanya skema tarif pajak efektif melalui
tax table atas penghitungan PPh 21 secara periodik. Bawono menjelaskan,
tax table tersebut memberikan informasi jumlah pajak terutang atau tarif efektif atas rentang penghasilan tertentu. "Dengan adanya tarif efektif tersebut tentu akan memudahkan pemberi kerja khususnya perusahaan yang padat karya," jelas Bawono.
Baca Juga: Pemerintah akan Susun RPP tentang Tarif Pemotongan PPh 21 Dihubungi berbeda, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono mengatakan, RPP tersebut merupakan amanat dari ketentuan Pasal 21 ayat (5) UU PPh setelah ada revisi UU HPP. Kemudian, pemerintah diberi kewenangan untuk mengatur tarif khusus berdasarkan PP 41/2016. Ketentuan tersebut mengatur PPh Pasal 21 atas penghasilan pegawai dari pemberi kerja dengan kriteria tertentu. Hanya saja, dirinya menilai bahwa RPP tersebut tidak akan memberikan dampak signifikan secara makro, lantaran hanya diberikan kepada pegawai yang berpenghasilan rendah di sektor yang mendapatkan fasilitas.
"Prinsip keadilannya terabaikan karena tidak semua sektor mendapatkan," kata Prianto. Prianto menjelaskan, PP 41/2016 hanya berlaku untuk pegawai yang penghasilannya dalam setahun tidak lebih dari Rp 60 juta. Tarif pajaknya pun hanya 3,5% dan bersifat final. Selan itu, pemberi kerja yang mendapatkan fasilitas PP 41/2016 hanya perusahaan di bidang industri alas kaki dan tekstil dan produk tekstil (TPT). "Jika dilihat dari pengaturan di PP 41/2016, RPP tersebut belum terlalu penting. Sebagai bukti, setelah PP 41/2016 berakhir di 2017, tidak ada lagi pengaturan sejenis sebagai penganti dari PP 41/2016," ungkapnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari