JAKARTA. Bank Indonesia (BI) hari ini merilis peraturan tentang transaksi lindung nilai alias
hedging untuk perbankan, khususnya yang berstatus sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.15/8/PBI/2013, bank sentral ingin mengurangi ketergantungan pelaku ekonomi dalam hal ini nasabah bank, terhadap transaksi
spot di pasar keuangan dalam memenuhi kebutuhan valuta asing (valas). Kepala Ekonom Bank Internasional Indonesia (BII) Juniman menanggapi, efektif atau tidaknya PBI
hedging valas ini akan bergantung pada keinginan masing-masing perusahaan. Sebab, kata Juniman, dalam setiap penggunaan transaksi
hedging, ada biaya yang harus dibayarkan.
"Mereka (perusahaan BUMN) akan melihat
view (gambaran nilai tukar rupiah terhadap dolar) juga. Kalau pandangannya salah, maka
cost (biaya)-nya bisa jadi besar," kata Juniman saat dihubungi melalui sambungan telepon, Rabu (9/10). Juniman mengungkapkan, transaksi menggunakan lindung nilai atau
hedging selama ini sudah ada yang melakukan. Namun memang aturannya baru keluar sekarang. Untuk perusahaan BUMN yang akan melakukan transaksi
hedging, menurut Juniman, harus ada penegakan hukum atau
law enforcement, serta kerja sama antara BI dan Kementerian BUMN. "Jika diserahkan begitu saja ke pasar, efektivitasnya bisa dipertanyakan," jelas Juniman. Menurutnya, porsi transaksi valas BUMN di pasar spot mencapai 40%. Jika BUMN dapat melakukan
hedging, maka akan buat permintaan atau demand di pasar spot menurun. Dengan begitu, fluktuasi rupiah menjadi tidak terlalu lebar dan BI jadi lebih mudah memonitor dan melakukan operasi pasar. "Aturan
hedging juga membuat manajemen likuiditas valas BUMN bisa lebih baik. Yang bikin parah pasar
spot setiap hari karena permintaan BUMN," ucap Juniman. Sesuai data Bank Indonesia (BI), nilai transaksi valas rerata harian dari Juli-September 2013 di pasar valas domestik secara berurutan mencapai US$ 2,8 miliar, US$ 2,2 miliar dan US$ 2,4 miliar. Dari total transaksi harian tersebut, transaksi
spot memiliki pangsa pasar sebesar 73%, menyusul kemudian transaksi swap 21%, selanjutnya transaksi
forward dan
option sebesar 6%. Banyaknya pelaku ekonomi termasuk sebagian besar perusahaan BUMN yang mencari mata uang dolar Amerika Serikat (USD) dari transaksi spot di pasar valas domestik, lantas memberi tekanan pada nilai tukar rupiah. Selama ini permintaan valas di pasar uang dalam negeri selalu lebih besar daripada suplai. Kondisi ini membuat nilai tukar rupiah rentan melemah. Pergerakan nilai tukar semakin bergejolak saat terjadi risiko ketidakseimbangan internal dan eksternal. Sesuai data Jakarta Interbank Spot Dolar Rate (JISDOR), nilai tukar Rupiah pada hari ini (9/10), kembali ditutup melemah ke level Rp 11.540/US$. Dengan pelemahan itu, nilai tukar telah melemah di atas 14% dari posisi akhir tahun lalu. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: