JAKARTA. Apabila rencana Direktur Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan, Fuad Rahmany agar bisa membuka data rekening nasabah perbankan dikabulkan, hal ini akan memicu perpindahan dana para nasabah besar ke bank-bank luar negeri. Sebab sensitivitas nasabah besar sangat tinggi.Menurut Eko B. Supriyanto, pengamat perbankan, Dirjen Pajak Fuad Rahmany terlihat kewalahan mengejar target mengejar penerimaan pajak negara. "Sehingga terpaksa harus memasuki wilayah rekening nasabah perbankan yang rahasia," kata Eko pada KONTAN, Kamis, (13/3).Namun Eko mengingatkan, jika rencana Ditjen Pajak tersebut diberlakukan, maka bisnis industri perbankan Indonesia secara keseluruhan bisa terancam. Sebab hal ini akan memicu para nasabah besar memindahkan dana simpanannya dari bank dalam negeri ke bank-bank luar negeri, terutama Singapura. "Sebab Singapura tidak memiliki aturan yang mewajibkan rekening nasabah bisa dibuka oleh negara," ujar Eko.Implikasinya, industri perbankan nasional bisa mengalami krisis likuiditas. Mengingat dana pihak ketiga (DPK) perbankan nasional selama ini didominasi nasabah besar. "Padahal peran pendanaan dari industri perbankan masih sangat kita perlukan untuk pembangunan ekonomi nasional. Kalau Ditjen Pajak bisa buka semua rekening nasabah, bubar sudah perbankan kita. Karena sensitivitas terutama para nasabah besar ini sangat tinggi," imbuh Eko.Berdasarkan laporan distribusi simpanan bank umum per Desember 2013 milik Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), total dana pihak ketiga (DPK) nasional mencapai Rp 3.655 triliun. Sementara besaran simpanan diatas Rp 2 miliar mencapai Rp 1.923 triliun atau 52,63% dari total DPK nasional. Sedangkan simpanan dibawah Rp 2 miliar mencapai Rp 1.731 triliun atau 47,37% dari total DPK nasional.Jalan keluarnya ialah Ditjen Pajak hanya dimungkinkan membuka rekening nasabah yang sudah terindikasi sejak awal melakukan pengemplangan pajak. "Jadi bukan semua data nasabah bank tanpa kecuali bisa dibuka oleh Ditjen Pajak," pungkas Eko.Kalangan perbankan sendiri memilih menyikapi secara hati-hati atas manuver Dirjen Pajak tersebut. Menurut Muhammad Ali, Sekretaris Perusahaan BRI, sesuai UU Perbankan No 10 Tahun 1998, data rekening simpanan boleh dibuka untuk kepentingan perpajakan sepanjang ada izin/perintah tertulis dari (dahulu Bank Indonesia), atau sekarang OJK atau kuasa dari pemilik rekening. "Aturan tentang pemberian informasi nasabah kepada perpajakan di BRI selalu mengikuti ketentuan sesuai dengan UU tersebut," ujar Ali.Terkait kekhawatiran akan terjadi perpindahan dana para nasabah besar yang bisa mengancam likuiditas perbankan, Ali menegaskan BRI akan mematuhi apapun yang menjadi keputusan regulator.Sedangkan Bank Central Asia enggan bersikap. "Sepertinya itu telah ditolak OJK. Jadi tidak perlu berandai-andai," kata Jahja Setiatmadja, Presiden Direktur BCA.Sebagaimana diketahui, Dirjen Pajak Fuad Rahmany mendesak agar diberi kewenangan membuka data rekening nasabah perbankan. Hal ini perlu dilakukan agar bisa mengetahui potensi pajak setiap warga masyarakat. "Kalau negara lain bisa, mengapa Indonesia tidak," kata Fuad di Jakarta, Selasa, (11/3).Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Pengamat: Sensitivitas nasabah besar sangat tinggi
JAKARTA. Apabila rencana Direktur Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan, Fuad Rahmany agar bisa membuka data rekening nasabah perbankan dikabulkan, hal ini akan memicu perpindahan dana para nasabah besar ke bank-bank luar negeri. Sebab sensitivitas nasabah besar sangat tinggi.Menurut Eko B. Supriyanto, pengamat perbankan, Dirjen Pajak Fuad Rahmany terlihat kewalahan mengejar target mengejar penerimaan pajak negara. "Sehingga terpaksa harus memasuki wilayah rekening nasabah perbankan yang rahasia," kata Eko pada KONTAN, Kamis, (13/3).Namun Eko mengingatkan, jika rencana Ditjen Pajak tersebut diberlakukan, maka bisnis industri perbankan Indonesia secara keseluruhan bisa terancam. Sebab hal ini akan memicu para nasabah besar memindahkan dana simpanannya dari bank dalam negeri ke bank-bank luar negeri, terutama Singapura. "Sebab Singapura tidak memiliki aturan yang mewajibkan rekening nasabah bisa dibuka oleh negara," ujar Eko.Implikasinya, industri perbankan nasional bisa mengalami krisis likuiditas. Mengingat dana pihak ketiga (DPK) perbankan nasional selama ini didominasi nasabah besar. "Padahal peran pendanaan dari industri perbankan masih sangat kita perlukan untuk pembangunan ekonomi nasional. Kalau Ditjen Pajak bisa buka semua rekening nasabah, bubar sudah perbankan kita. Karena sensitivitas terutama para nasabah besar ini sangat tinggi," imbuh Eko.Berdasarkan laporan distribusi simpanan bank umum per Desember 2013 milik Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), total dana pihak ketiga (DPK) nasional mencapai Rp 3.655 triliun. Sementara besaran simpanan diatas Rp 2 miliar mencapai Rp 1.923 triliun atau 52,63% dari total DPK nasional. Sedangkan simpanan dibawah Rp 2 miliar mencapai Rp 1.731 triliun atau 47,37% dari total DPK nasional.Jalan keluarnya ialah Ditjen Pajak hanya dimungkinkan membuka rekening nasabah yang sudah terindikasi sejak awal melakukan pengemplangan pajak. "Jadi bukan semua data nasabah bank tanpa kecuali bisa dibuka oleh Ditjen Pajak," pungkas Eko.Kalangan perbankan sendiri memilih menyikapi secara hati-hati atas manuver Dirjen Pajak tersebut. Menurut Muhammad Ali, Sekretaris Perusahaan BRI, sesuai UU Perbankan No 10 Tahun 1998, data rekening simpanan boleh dibuka untuk kepentingan perpajakan sepanjang ada izin/perintah tertulis dari (dahulu Bank Indonesia), atau sekarang OJK atau kuasa dari pemilik rekening. "Aturan tentang pemberian informasi nasabah kepada perpajakan di BRI selalu mengikuti ketentuan sesuai dengan UU tersebut," ujar Ali.Terkait kekhawatiran akan terjadi perpindahan dana para nasabah besar yang bisa mengancam likuiditas perbankan, Ali menegaskan BRI akan mematuhi apapun yang menjadi keputusan regulator.Sedangkan Bank Central Asia enggan bersikap. "Sepertinya itu telah ditolak OJK. Jadi tidak perlu berandai-andai," kata Jahja Setiatmadja, Presiden Direktur BCA.Sebagaimana diketahui, Dirjen Pajak Fuad Rahmany mendesak agar diberi kewenangan membuka data rekening nasabah perbankan. Hal ini perlu dilakukan agar bisa mengetahui potensi pajak setiap warga masyarakat. "Kalau negara lain bisa, mengapa Indonesia tidak," kata Fuad di Jakarta, Selasa, (11/3).Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News