Pengamat: Sertifikat Energi Terbarukan (REC) PLN Tingkatkan Nilai Jual Perusahaan



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah pengamat menilai bahwa sertifikat energi baru terbarukan bisa digunakan sebagai opsi untuk meningkatkan nilai tambah untuk produk yang diekspor.

Tauhid Ahmad, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menjelaskan, saat ini banyak perusahaan yang harus menampilkan laporan keberlanjutan di mana penggunaan energi menjadi satu hal yang penting.

“Laporan keberlanjutan ini termasuk penting, jadi dampaknya terutama bagi perusahaan-perusahaan terbuka. Kalau sudah melampirkan dan ada sertifikat ini akan menjadi nilai jual tersendiri,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Rabu (28/12).


Terlebih, jika produk yang dijual perusahaan tersebut diekspor ke negara yang peduli terhadap isu lingkungan semisal Uni Eropa dan Amerika. Beberapa produk yang dimaksud Tauhid ialah nikel, bauksit, dan produk pertambangan mineral lainnya yang bisa lebih laku jika menggunakan pengelolaan berbasis ESG.

Selain mineral, produk lain yang biasa dijual ke pasar ekspor seperti pakaian jadi (garmen), alas kaki, otomotif, hingga ban memiliki potensi yang besar masuk ke negara Eropa jika menggunakan sumber energi yang bersih.

Baca Juga: Alasan Pelaku Usaha Berminat Memiliki Sertifikat Energi Terbarukan (REC) PLN

Selain dapat membantu perusahaan meningkatkan nilai tambah, Tauhid bilang, REC ini bisa menjembatani target masing-masing perusahaan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) dan mencapai net zero emission (NZE).

Salah satu yang terpenting bagi Tauhid, selain menjual REC, pasokan energi bersih untuk produk ini juga harus diperhatikan.

“PLN juga mulai katakanlah melakukan transformasi energi,” ujarnya.

Dia berpesan agar PLN semakin memperbesar pasokan energi baru terbarukan (EBT) ke sistem kelistrikannya supaya sejalan dengan naiknya permintaan REC.

Yayan Satyaki, pengamat ekonomi energi Universitas Padjadjaran menambahkan, pada dasarnya dia setuju dengan dibuatnya fasilitas REC oleh PLN dengan syarat sertifikat tersebut memperhitungkan carbon footprint dan economic viable dan mempertimbangkan economic rate of return.

“Artinya proyek ini mempertimbangkan penciptaan tenaga kerja dan pengentasan kemiskinan. Tidak hanya aspek keuangan tetapi ekonomi dan penciptaan benefit bagi komunitas juga jadi prioritas,” tegasnya.

Yayan bilang, seharusnya REC ini sudah ada sejak 10 tahun -15 tahun yang lalu, agar memastikan bahwa proyek energi terbarukan sesuai dengan tujuannya yaitu energi keberlanjutan demi mendorong pembangunan.

Baca Juga: Sertifikat Energi Baru Terbarukan (REC) Milik PLN Digandrungi Kalangan Industri

“Jadi REC itu tidak hanya clean energy tetapi juga harus inklusif,” tandasnya.

Yayan bilang, jika berbicara REC untuk ekspor harus dipahami bahwa kinerja tersebut harus lebih produkti  karena biasanya REC ini akan menjadi biaya tambahan. Hal ini supaya mendapatkan perhitungan secara ekonomis bahwa REC ini sebagai label untuk perusahaan agar kompetitif di pasar ekspor atau tidak.

“Jangan sampai REC menjadi cost bagi eksportir dan tidak kompetitif,” tegasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Anna Suci Perwitasari